Suarabanyuurip.com – d suko nugroho
Jakarta – Pro-kontra wacana revisi UU Desa terkait perpanjangan jabatan kepala desa terus bergulir di kalangan DPR. Sebagian politisi senayan menilai UU No.6/2014 tentang Desa masih relevan. Bahkan mereka menilai jika jabatan kepala desa diperpanjang 9 tahun dan dapat dipilih tiga kali, dikhawatirkan akan terjadi fenomena pemerintahan yang korup.
Anggota Komisi V DPR RI Sadarestuwati menyampaikan pandangannya terkait UU No.6/2014 tentang Desa. Ia mengatakan, sebenarnya UU Desa masih sangat relevan untuk bisa dilaksanakan, sehingga belum perlu dilakukan revisi, khususnya yang menyangkut usulan perpanjangan masa jabatan kepala desa menjadi 9 tahun dari 6 tahun yang sudah tercantum dalam UU Desa.
“Kecuali kalau memang ada yang jadi tuntutan para kepala desa yang bisa diterima semua pihak. Sekali lagi bahwa semuanya dalam artian pemerintah pusat, pemerintah daerah, provinsi, dan kabupaten. Semuanya menginginkan desa ini bisa segera maju. Semuanya tidak ada lagi desa yang masih tertinggal,” tandas Sadarestuwati dalam Dialektika Demokrasi bertema “Menimbang Urgensi Revisi UU Desa” di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (2/2/2023).
Menurutnya, usulan penambahan masa jabatan kades menjadi 9 tahun harus dilandasi dengan alasan yang tepat. Salah satunya terkait fondasi pembangunan desa. Ia menilai, yang krusial dilakukan adalah meningkatkan kapasitas kepala desa dan perangkat desa. Khususnya, kemampuan desa dalam mengelola anggaran dan kemampuan manajerial kades itu sendiri. Terlebih lagi, dana yang dikelola pemerintahan desa tidaklah kecil.
Saat ini, lanjut dia, desa tidak hanya mengelola anggaran dana desa ataupun dana alokasi desa dari pemerintah daerah. Tetapi juga ada program-program dari Kementerian yang langsung diberikan kepada desa.
Karena itu, butuh kapasitas mumpuni untuk mengelola dana-dana yang ada serta dibutuhkan juga pendampingan dan pengawasan ketat. Jika pada akhirnya UU Desa akan direvisi, ia pun mengingatkan agar pemerintah berupaya memastikan agar pengelolaan anggaran desa berjalan sesuai koridor.
“Ini butuh waktu bagi desa untuk terus meningkatkan sumber daya manusianya, baik itu kepala desa maupun perangkat desanya sendiri, sehingga bisa menjadi satu pemerintahan dengan sumber daya manusia yang mumpuni, untuk bisa mengelola anggaran yang cukup besar setingkat desa,” ungkap Sadarestuwati.
Senada disampaikan, Anggota Komisi II DPR RI Mardani Ali Sera. Ia berpendapat perpanjangan masa jabatan kepala desa menjadi 9 tahun dan bisa dipilih sebanyak 3 periode, dikhawatirkan akan terjadi fenomena pemerintahan yang korup.
“Kami berpendapat yang sekarang masih cukup akomodatif 6 tahun bisa dipilih 3 periode. Karena kalau 9 tahun ada istilah Power Tend to Corrupt kasihan teman-teman kepala desa. Kita, tuh, bukan ingin membangun kepala desa, kita ingin membangun desa atau desa yang membangun, sehingga sirkulasi kepemimpinan wajib ada dan berikan hak kepada warga desa,” tuturnya.
Menurut Mardani, desa jangan dijadikan basis politis tetapi menjadi basis teknokratis, dimana tidak ada kepala desa tetapi ada Aparatur Sipil Negara (ASN) yang ditunjuk untuk mengelola desa tersebut. Tentu ASN yang ditunjuk merupakan ASN yang memiliki kapasitas dan mampu melakukan pengelolaan dengan baik.
“Konsep ini diharapkan dapat mengurangi gesekan-gesekan politik yang menghambat perkembangan desa,” tegasnya dikutip dari Parlementaria.
Berbeda lagi disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi II DPR RI Yanuar Prihatin. Menurutnya, banyak substansi yang menjadi poin revisi UU Desa. Diantaranya perpanjangan jabatan kepala desa bukanlah fokus dari usulan revisi tersebut.
“Kalau saya pribadi, usulan teman-teman kemarin sebetulnya lebih merupakan pemantik saja untuk memberikan warning kepada kita semua. Terutama yang di pemerintah pusat, DPR, maupun presiden dan para menteri terkait bahwa ada sesuatu yang harus kita selesaikan di desa,” ujar Yanuar.
Dia menuturkan, selama ini perdebatan tentang revisi UU Desa hanya berkutat pada perpanjangan masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun. Ia menilai, perpanjangan jabatan kepala desa hanya menjadi bagian kecil dari berbagai permasalahan yang ada di desa. Sebaliknya, lanjut dia, pesan utama dari gelombang protes kepala desa dan perangkat desa adalah status dan kesejahteraan.
“Masa depan desa itu lebih luas dari sekadar masa jabatan, lebih luas dari sekadar status, dan kedudukan perangkat desa. Bahkan, lebih luas dari sekadar kesejahteraan kepala desa dan perangkat desa,” ujar Yanuar.
Dia menjelaskan, ada lima pondasi pokok untuk memajukan desa yang kemungkinan akan dibahas pada revisi UU Desa nanti. Pertama, soal leadership atau kepemimpinan desa, karena ini sangat menentukan kemajuan desa.
“Nah ini menjadi poin utama yang perlu ditingkatkan, karena desa maju atau tidaknya tergantung kepala desa dan perangkat desanya ini,” ucap Yanuar.
kedua, pemanfaatan sumber daya lokal yang tersedia di desa. Meskipun setiap daerah tidak seragam, namun setiap desa tentu memiliki sumber daya yang bisa dimanfaatkan bagi keperluan desa.
“Nah, banyak kepala desa yang tidak percaya diri dengan kualitas sumber daya lokalnya. Ini tugas pemerintah pusat membuat nyambung,” ujarnya.
Ketiga, manajemen pemerintahan dan pembangunan desa. Ia menilai ini merupakan poin kunci yang harus dicek bersama dalam merumuskan nantinya. Keempat, partisipasi dan pemberdayaan masyarakat. Sejauh ini baik di desa sampai tingkat pusat dirasa masih jarang dilakukan pemberdayaan masyarakat.
Kelima, keuangan desa. Menurut dia, cara pandang terhadap keuangan desa harus diubah, lantaran selama ini perangkat desa hanya bergantung pada bantuan dari tingkat atasnya.
“Jadi besarnya itu menurut saya yang harus ditangkap. Jangan kemudian terjebak pada topik-topik kecil, yang membuat kita tenggelam di situ dan akhirnya malah debat di situ,” pungkasnya.(suko)