Suarabanyuurip.com – d suko nugroho
Blora – Pemerintah telah menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah kering panen (GKP) di tingkat petani menjadi Rp5.000 per kilogram. Namun petani di Kecamatan Gayam, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, wilayah Lapangan Minyak Banyu Urip, menilai harga tersebut belum ideal.
Petani Desa Katur, Kecamatan Gayam, Sunjani menyampaikan penetapan HPP GKP Rp5.000 belum sesuai dengan biaya produksi yang dikeluarkan petani. Sebab, sekarang ini ongkos kerja dan pembelian pupuk mahal.
“Kalau menurut kami idealnya 5.500 rupiah per kilogramnya,” ujar pria yang juga Ketua Kelompok Produsen Agrobisnis (KPA) Makmur Sejahtera Bersama Desa Katur kepada suarabanyuurip.com, Sabtu (18/3/2023).
Sunjadi kemudian mencontohkan biaya produksi yang dikeluarkan petani. Seperti ongkos kerja buruh tanam (tandur) sehari Rp 100 ribu per orang. Kemudian biaya pupuk Phonska dan Urea subsidi masing-masing Rp 2.225/kg. Sedangkan non subsidi untuk urea bisa sampai Rp6.000/kg, dan phonska plus berkisar Rp 3.500/kg.
“Belum lagi obat-obatan lainnya. Apalagi jatah pupuk subsidi terbatas, kekuarangnya ya pakai non subsidi,” tegasnya.
Menurut dia, harga gabah setiap panen raya di tingkat petani tidak sesuai dengan HPP yang ditetapkan. Sunjani menyebuat permainan pedagang menjadi penyebabnya. Sementara di sisi lain Bulog kurang maksimal menyerap gabah petani.
“Rata-rata petani lebih memilih menjual ke tengkulak daripada ke Bulog. Sebab tengkulak datang langsung ke sawah. Sementara kalau di setor ke Bulog belum tentu diterima dan masih terkena biaya operasional untuk mengangkutnya,” tutur Sunjani.
Senada disampaikan petani di wilayah Gayam lainnya, Midin. Menurutnya, HPP GKP Rp5.000 yang ditetapkan belum sesuai dengan biaya produksi yang dikeluarkan petani.
“Belum lagi kalau tanaman diserang hama, kebutuhan pupuk dan obat-obatan pasti bisa jadi dua kali lipat. Sementara jatah pupuk subsidi hanya untuk sekali,” bebernya.
Lebih memprihatinkan lagi, ungkap Kepala Desa Katur, Sukono, nasib petani penggarap lahan perhutani dan tanah solo valley. Sukono mengatakan, petani tersebut tidak mendapat jatah pupuk subsidi karena tidak masuk dalam rencana definitif kebutuhan kelompok (RDKK).
“Ini yang harus dicarikan solusi oleh pemerintah. Apakah mereka diberikan subsidi pupuk tunai atau dialokasikan. Karena di wilayah Gayam ini banyak petani penggarap lahan hutan dan solo valley,” harapnya.
Anggota Komisi IV DPR RI Johan Rosihan sebelumnya telah meminta Badan Pangan Nasional (Bapanas) untuk menghitung secara cermat biaya produksi yang dikeluarkan petani sebelum menetapkan HPP. Mulai dari ongkos kerja, sewa lahan, harga pupuk, benih, dan lain-lain yang saat ini mengalami kenaikkan signifikan akibat naiknya harga BBM dan inflasi.
“Jangan sampai HPP ini merugikan petani. Karena petani ini penyangga ketahanan pangan nasional,” tegas Johan.
Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) atau NFA, Arief Prasetyo Adi, sebelumnya telah resmi mengumumkan HPP GKP sebesar Rp5.000. Harga ini naik dari semula sebesar Rp4.200 per kilogram.
“Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani Rp5.000, Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat penggilingan Rp5.100, Gabah Kering Giling (GKG) di penggilingan Rp6.200, Gabah Kering Giling (GKG) di gudang Perum Bulog Rp6.300,” kata Arif usai mengikuti rapat terbatas (ratas) yang dipimpin oleh Presiden RI Joko Widodo (Jokowi).
Selain itu, pihaknya menetapkan HPP beras di gudang Perum Bulog dengan kadar air maksimum 14 persen, butir patah maksimum 20 persen, butir menir maksimun 2 persen seharga Rp9.950. Juga menetapkan harga eceran tertinggi (HET) beras medium dan beras premium berdasarkan zonasi.(suko)
Berikut rincian HET berdasarkan zonasi:
1. Zona I: beras medium Rp10.900 dan beras premium Rp13.900.
2. Zona II: beras medium Rp11.500 dan beras premium Rp14.400.
3. Zona III: beras medium Rp11.800 dan beras premium Rp14.800.