Suarabanyuurip.com – d suko nugroho
Jakarta – Komisi VII DPR RI optimis penyelesaian revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2021 tentang minyak dan gas bumi atau UU Migas akan mampu mendongkrak lifting dalam negeri. Regulasi ini dinilai akan memberikan ekosistem pengelolaan migas yang baru di indonesia.
Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto menegaskan, bahwa pengelolaan migas disektor hulu sangat penting, karena saat ini blok pengeboran sudah sangat tua sehingga mengalami penurunan produksi alami atau natural decline.
“Dalam revisi undang-undang migas nantinya akan ada kepastian hukum terkait ekosistem baru utamanya di sektor hulu, karena hal tersebut memiliki peranan yang sangat penting. Sektor hulu harus terus berkembang mengingat produksi lifting minyak dan gas di Indonesia terus menerus menurun karena lapangan-lapangan yang ada sekarang ini sudah tua,” ujar Sugeng dalam pernyataan resminya.
Politisi Partai NasDem itu mengungkapkan, dari target litfing yang sudah ditetapkan sebesar 703.000 barel perhari (Bph), SKK Migas hanya mampu memenuhi 630.000 bbph. Sehingga dengan capaian saat ini, berdampak pada ketidakseimbangan antara konsumsi masyarakat dengan produksi minyak yang dapat diproduksi tiap harinya.
“APBN tahun 2022 lalu lifting minyak kita ditetapkan 703.000 barel per hari, tapi faktanya produksinya hanya 630.000 barel saja. Nah ini berarti telah terjadi kesenjangan sementara konsumsi terus naik, misalnya BBM saja sampai hari ini kurang lebih 1,4 juta barel perhari sehingga kita ini impor BBM luar biasa besar sampai kurang lebih 850.000 barel per hari,” papar Sugeng.
Oleh karena itu, lanjut dia, Komisi VII DPR RI terus upayakan revisi undang-undang Migas dapat segerea diselesaikan.
“UU Migas yang baru nanti akan mendorong peningkatan lifting dalam negeri, sehingga benar-benar berdampak bagi pendapatan negara, dengan berorientasi pada kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat,” tegas Sugeng.
Senada disampaikan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Maman harus menjadi salah satu penopang dan mendorong peningkatan pendapatan negara. Ia berharap Kementerian Energi Sumber Daya Alam Manusia (ESDM) ataupun Kementerian Perindustrian dapat diberikan anggaran lebih, seperti halnya Kementerian Keuangan, supaya bisa menghasilkan peningkatan pendapatan negara jauh lebih besar lagi.
“Saya ingin dengan adanya revisi Rancangan UU Migas harus menjadi salah satu penopang pendapatan negara yang pada prinsipnya keberadaan RUU migas di tengah kondisi saat ini harus menjadi salah satu pendorong untuk membangun kesadaran semua pihak. Pada saatnya nanti Undang-Undang (UUD) yang dilahirkan bisa mendorong peningkatan percepatan pendapatan negara,” tandas Maman.
Ia menegaskan, negara harus hadir memberikan kemudahan kepada perusahan-perusahaan anak bangsa untuk mendapatkan fasilitas-fasilitas keuangan. Artinya harus ada semangat besar dari negara yang nantinya akan ada elaborasi.
“Pada prinsipnya mungkin pandangan saya belum tentu benar tapi layak diperdebatkan di Komisi VII untuk didiskusikan supaya RUU Migas ini, menjadi suatu UU yang paling paripurna bisa memberikan kemanfaatan dan kemaslahatan sesuai pasal 33 UUD. Bahwa pada ujungnya sumber kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan untuk sepenuhnya bagi kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia,” terang Maman.
Direktur Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Tutuka Ariadji sebelumnya menyampaikan, Kementerian ESDM akan mendorong agar RUU Migas dapat dibahas dan bisa disahkan pada tahun 2024, karena masalah kepastian berusaha menjadi hal yang paling ditunggu oleh investor.
“UU Migas menjadi landasan hukum yang memberi kepastian berusaha bagi investor. Ini yang sangat dinantikan oleh para investor. Beberapa usulan akan segera kami sampaikan ke parlemen dalam waktu dekat, agar bisa segera dibahas pada tahun depan,” sambung Tutuka.
Menurut dia, hal substansial dalam RUU Migas berkaitan erat dengan perubahan iklim investasi menjadi lebih baik. Sebab, saat ini competitiveness Indonesia dibandingkan Thailand, Malaysia, dan beberapa negara Afrika adalah yang terendah. Salah satu yang perlu direvisi adalah soal perpajakan, khususnya pajak pertambahan nilai (PPn) dan pajak penghasilan (PPH) yang prosesnya begitu panjang dan rumit.
“Kami usulkan agar diberlakukan seperti pada UU lama saja,” katanya.
Tutuka menjelaskan, UU Migas harus segera dirampungkan karena Indonesia berkejaran dengan waktu. Dia mencontohkan Blok Natuna di Kepulauan Riau. Sudah 45 tahun ladang migas itu mandeg karena sangat kompleks, berisiko tinggi, dan butuh investasi besar.
“Kalau ini tidak diselesaikan sekarang, kita akan kehilangan peluang karena dalam 10-20 tahun nanti adalah masa bagi renewable energy,” katanya.(suko)