Suarabanyuurip.com – d suko nugroho
Jakarta – Presiden Joko Widodo telah mengirimkan surat presiden (Surpres) tentang RUU Perampasan Aset pada 4 Mei lalu. Saat ini draf RUU tersebut baru akan dibawa ke badan musyawarah (Bamus) sebelum dibacakan di Rapat Paripurna DPR.
Anggota Komisi III DPR RI Didik Mukrianto berpandangan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana perlu segera dibahas dan disahkan, karena regulasi ini akan dapat memberikan efek jera terhadap para pelaku kejahatan ekonomi.
Didik mengungkapkan, pemberantasan tindak pidana ekonomi termasuk korupsi, narkoba, perpajakan, tindak pidana di bidang keuangan, dan lainnya tidak sepenuhnya utuh keberhasilannya. Pencegahan dan penindakan belum menunjukkan efek jera yang signifikan dan memadai.
”Idealnya, perampasan aset hasil tindak pidana bisa menjadi salah satu faktor efek jera bagi pelaku dalam kejahatan ekonomi. Mengingat tidak sedikit, aset hasil tindak pidana tetap dapat dinikmati oleh pelaku meskipun sudah menjalani masa hukuman,” tegasnya.
Politikus Partai Demokrat itu kemudian mencontohkan saat aparat penegak hukum membongkar tindak pidana pencucian uang. Dalam praktiknya, pemerintah masih terkendala kurang progresifnya peraturan perundangan-undangan yang ada terkait penyitaan aset yang diduga hasil tindak pidana.
“Pemulihan aset kerugian negara ataupun kerugian sosial-ekonomi dari sejumlah kejahatan ekonomi masih belum optimal dan masih belum bisa membantu pengembalian keuangan negara secara utuh,” tandas Didik.
Oleh karena itu, Komisi III DPR mendukung perampasan aset milik pelaku tindak kejahatan, khususnya bagi pelaku yang sengaja menyembunyikan uang hasil kejahatannya lewat cara-cara tertentu. Apalagi, dari analisa yang dilakukan, kejahatan ekonomi selalu berkembang seiring dengan kemajuan informasi dan teknologi.
“Kejahatan ekonomi ini semakin canggih atau bisa dikatakan sebagai kejahatan sophisticated,” terangnya.
Didik menilai, RUU Perampasan Aset jauh lebih penting dan berkeadilan ketimbang melakukan konstruksi hukuman mati bagi para pelaku kejahatan. Diharapkan RUU ini bisa menjadi terobosan dalam upaya memberantas dan menekan angka kejahatan ekonomi secara utuh demi terwujudnya rasa keadilan publik.
Legislator dari Dapil Jawa Timur IX itu, menjelaskan empat keadaan perampasan aset dapat dilakukan. Pertama, tersangka atau terdakwa meninggal, melarikan diri, sakit permanen, atau tidak diketahui keberadaannya. Kedua, terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum. Ketiga saat perkara pidananya tidak dapat disidangkan. Keempat, terdakwa telah diputus bersalah oleh pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan di kemudian hari diketahui terdapat aset tindak pidana yang belum dirampas.
“Kami mendukung penuh agar RUU Perampasan Aset Tindak Pidana bisa segera dibahas dan diundangkan. Sehingga perampasan aset dapat dilakukan terhadap harta hasil kejahatan tanpa kendala aturan hukum acara yang belum memadai,” tandasnya.
Didik berharap, RUU Perampasan Aset Tindak Pidana diharapkan mampu menjadi solusi yang komprehensif dalam menangani persoalan aset tindak pidana, karena selama ini banyak kendala yang menyulitkan penegak hukum terkait kondisi tersangka atau terdakwa.
“Kejahatan yang dilakukan melalui berbagai cara financial engineering dan legal engineering dengan tujuan agar dapat mengelabui aparat penegak hukum, mempersulit proses hukum di pengadilan, dan mempersulit proses penyitaan yang dilakukan secara konvensional. Misalnya tersangka atau terdakwa meninggal dunia, melarikan diri, sakit permanen, atau tidak diketahui keberadaannya,” tuturnya.
RUU Perampasan Aset merupakan RUU inisiatif Pemerintah. Didik menyebut ada sejumlah hal yang diatur dalam RUU ini, termasuk aturan aset tindak pidana yang dapat dirampas negara yakni aset yang bernilai minimal Rp100 juta.
Selain itu, aset yang dapat dirampas merupakan aset terkait dengan tindak pidana yang ancaman pidana penjaranya mencapai empat tahun atau lebih. Kemudian, aset yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana. Aset yang bisa dirampas selanjutnya adalah aset lain sah milik pelaku tindak pidana sebagai pengganti aset yang telah dinyatakan dirampas oleh negara, dan aset yang merupakan barang temuan yang diduga berasal dari tindak pidana.
Negara juga dapat merampas aset yang tidak seimbang dengan penghasilan atau sumber penambahan kekayaan yang tidak dapat dibuktikan asal usul perolehannya secara sah dan diduga terkait dengan aset tindak pidana yang diperoleh sejak berlakunya Undang-Undang ini.
Selanjutnya, aset benda sitaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana atau yang digunakan untuk melakukan tindak pidana juga dapat dirampas.
“RUU Perampasan Aset ini secara formil dapat menjawab harapan publik terkait pemberantasan kejahatan ekonomi. Mulai dari kejahatan narkoba, perpajakan, terorisme, tindak pidana di bidang keuangan, dan lainnya,” tutup Didik dikutip dari Parlementaria.(suko)