Menantang Terik di Ladang Migas Kolibri

Pasidan, warga Desa Ngambon, Kecamatan Ngambon, Kabupaten Bojonegoro, saat menjemur gedebog pisang di halaman rumahnya di dekat lokasi sumur Migas Kolibri.

Gemerlap industri migas dan jumlah anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) yang besar tak menjamin warga masyarakatnya terentas dari kemiskinan dan hidup dalam kemakmuran. Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, sebagai penghasil migas dan APBD Rp 7,4 triliun misalnya.

SIANG masih belum berlalu meremas senja. Semilir angin menggendong mendung ke arah barat redupkan terik matahari yang serasa menggores kulit. Tampak seorang lelaki lanjut usia (Lansia) menjemur gedebog (batang pisang) di pekarangan rumah yang tak jauh dari lokasi sumur minyak dan gas bumi (Migas) Kolibri di Desa Bondol, Kecamatan Ngambon, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Dia adalah Pasidan (65) warga Desa Ngambon.

Sekalipun sorot sang digdaya siang hari mengiris raganya yang tipis, tak menyurutkan niat warga miskin itu untuk beraktivitas menjemur gedebog pisang. Tanpa memakai baju, dengan cekatan tangannya membolak-balik gedebog yang ia jemur agar cepat kering.

Sambil mengusap keringat di wajahnya, ia mengaku, kesehariannya aktivitas yang dilakukan tak hanya mengumpulkan gedebog pisang. Ia juga mencari rumput untuk pakan pedet (anak sapi). Aktivitas mengais rezeki dari mengumpulkan gedebog pisang ini dilakukan sudah hampir dua tahun.

Harga gedebog kering yang dikumpulkan 1 kilogram (Kg) dihargai Rp2000 untuk yang super. Sedangkan yang biasa, kurang dari Rp2000 per kilogramnya.

“Biasanya pengepul ngambilnya dua minggu sekali, kadang juga lebih tidak mesti. Sekali diambil kadang ya dapat 30 kg, kadang juga lebih, kadang juga kurang. Karena sambil mencari rumput, Pak,” ujarnya ditemui di sela-sela menjemur gedebog.

Pasidan warga Ngambon  © 2023 suarabanyuurip.com

Pasidan sedang di dalam rumah sambil menunjukkan sebagian dinding rumahnya yang masih dari anyaman bambu dan daun jati.
© 2023 suarabanyuurip.com/Sami’an Sasongko

Pasidan yang hidup sebatang kara di rumah yang sebagian berdinding anyaman bambu dan daun jati ini tak kaget dengan cuaca panas. Karena sudah terbiasa merasakan dalam setiap harinya. Selain itu, meski hidup sendirian dan serba kekurangan tak ingin berdiam diri akan terus berusaha kerja disisa hidupnya yang sudah menua.

“Alhamdulillah hasil dari jual gedebog dan buruh tani saya kumpulkan bisa tak buat makan dan beli pedet. Selain itu juga tak buat beli papan untuk ganti gedek (dinding) rumah yang masih dari anyaman daun jati. Bagi saya berapapun hasil yang didapat saya syukuri saja terpenting tidak merugikan orang lain,” ucapnya.

Sebagai rakyat kecil hanya bisa berharap agar pemerintah peduli dengan rakyatnya, utamanya warga miskin dan jangan sebaliknya.

“Semoga saja para pemangku kebijakan lebih peduli dengan warga miskin. Perihal bantuan atau program apa yang diberikan itu terserah saja terpenting bisa bermanfaat,” tutup lansia berkulit sawo matang ini.(Sami’an Sasongko)

»Follow Suarabanyuurip.com di
» Google News SUARA BANYUURIP
» dan Saluran WhatsApp Channel SuaraBanyuurip.com


Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *