Suarabanyuurip.com – Arifin Jauhari
Bojonegoro – Indonesia saat ini sedang dalam masa transisi energi menuju pencapaian Net Zero Emission (NZE) di 2060. Meski begitu, minyak dan gas bumi (migas) tetap dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan energi. Bahkan konsumsi migas diperkirakan naik seiring peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional.
Peningkatan konsumsi migas ini dapat dilihat dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan Outlook BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi). Berdasar itu, Reforminer Institute dalam laporannya mengatakan bahwa kebutuhan migas akan terus meningkat hingga 2050.
Begitu pula tiga skenario Outlook Energy BPPT. Yaitu Busines As Usual (BAU), Electric Vehicle (EV), dan New Renewable Energy (NRE), memperkirakan volume konsumsi minyak sampai dengan 2050 akan terus mengalami lonjakan.
“Meskipun kebijakan transisi energi diterapkan, RUEN dan tiga skenario Outlook Energy BPPT memproyeksikan defisit neraca minyak Indonesia sampai tahun 2050 akan terus meningkat,” kata Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro dalam laporannya, dikutip Jumat (14/07/2023).
Konsumsi minyak tertinggi terjadi pada skenario BAU. Yakni dengan tingkat kebutuhan mencapai 1.171,75 juta barel pada 2050. Ini berkebalikan dengan pasokannya yang hanya mencapai 70 juta barel.
Sementara konsumsi minyak pada skenario EV dan NRE disebut relatif lebih rendah daripada skenario BAU. EV memproyeksikan kebutuhan minyak pada 2050 mencapai 1.002,3 juta barel dengan pasokan 70 juta barel. Sedangkan pada skenario NRE, konsumsi minyak sebesar 1.016 juta barel dengan produksi 70 juta barel.
“Upaya optimalisasi penemuan cadangan dan produksi migas nasional merupakan solusi terbaik untuk meminimalkan defisit neraca migas Indonesia,” ujar Komaidi.
Kendati, upaya itu dihadapkan pada fakta bahwa sekira 70 persen blok migas produksi telah mengalami penurunan alamiah. Serta sekira 50 persen blok migas produksi adalah lapangan tua atau mature field.
Terpisah, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Dwi Soetjipto mengatakan, peningkatan produksi migas dari lapangan yang sudah ada perlu dibarengi dengan peningkatan kegiatan eksplorasi secara masif.
Langkah itu diperlukan agar produksi migas tetap terjaga dan berkelanjutan seiring adanya penurunan produksi secara alamiah dari lapangan-lapangan tua. Saat ini, Indonesia masih memiliki cadangan migas yang berpotensi untuk dieksplorasi dan dikembangkan. Untuk bisa mengoptimalkan potensi cadangan migas yang ada, sektor hulu migas Indonesia membutuhkan dukungan investasi berskala besar.
Pemerintah juga dikatakan berkomitmen mendorong investasi di sektor hulu migas melalui pemberian insentif dan perbaikan skema kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract/PSC).
“Tahun ini, investasi di sektor hulu migas ditargetkan mencapai US$15,54 miliar atau naik 26 persen dibanding pencapaian investasi tahun lalu. Jika dibandingkan rencana peningkatan investasi hulu migas global yang naik 6,5% maka menunjukkan bahwa pertumbuhan investasi Indonesia melampaui rata-rata global,” beber Dwi.(fin)