Suarabanyuurip.com – Arifin Jauhari
Bojonegoro – Kuasa Hukum S. Marman, Nur Aziz menduga telah terjadi persekongkolan jahat antara Bupati Bojonegoro, Jawa Timur, secara lembaga dengan Kepala Desa (Kades) Banjarsari dalam memperoleh lahan untuk didirikan Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Banjarsari.
Dugaan Nur Aziz atas terjadinya persekongkolan jahat dalam proses terbitnya Sertipikat Hak Pakai (SHP) No. 00016 seluas 3.679 M2 tanggal 22 Agustus 2022 atas nama Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bojonegoro bukan tanpa landasan.
Sebab, kata Pengacara asal Tuban ini dasar penerbitan SHP atas nama Pemkab itu adalah Tanah Negara (TN). Padahal tanah obyek sengketa itu menurut fakta persidangan dan menurut pertimbangan hakim bukan TN. Melainkan tanah Sertipikat Hak Milik (SHM) milik Salam Prawirosoedarmo yang terbit pada 1972.
“Maka sangat patut diduga ada bentuk persekongkolan jahat melawan hukum antara Bupati Bojonegoro dan Kades Banjarsari yang membuat Surat Pernyataan atau Keterangan yang tidak benar untuk menerbitkan SHP atas nama Pemkab. Karena SHP pemkab baru terbit pada 2022,” kata Nur Aziz kepada SuaraBanyuurip.com, Kamis (27/07/2023).
Dalam persidangan, lanjut Nur Aziz, diakui oleh Turut Tergugat yakni Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Bojonegoro, bahwa pada tanah obyek sengketa telah terbit SHM atas nama Salam Prawirosedarmo. Bukan TN ataupun tanah milik pemkab.
“Tetapi karena ketidakcermatan Majelis Hakim, eksepsi Tergugat itu dikabulkan. Dinyatakan S. Marman tidak punya legal standing menggugat. Makanya kami lakukan upaya hukum banding, biar diuji oleh pengadilan yang lebih tinggi. Karena prosesnya memperoleh tanah itu tidak benar,” ujarnya.
Diberitakan sebelumnya, S. Marman melalui Kuasa Hukumnya, Nur Aziz mengajukan banding dalam perkara sengketa lahan RPH Banjarsari.
Nur Aziz menilai Majelis Hakim PN Bojonegoro yang mengadili perkara a quo tidak memberikan putusan tepat. Sebab sangat jelas Majelis Hakim tidak mempertimbangkan bukti P-6 berupa surat pernyataan jual beli dari Salam Prawirosoedarmo kepada Darus.
Bukti P-6 menunjukkan tanah obyek sengketa pernah dijual secara adat. Transaksi jual beli secara adat ini menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) dibenarkan. Hal itu juga telah dia kutip dalam memori banding.
“Tetapi, bukti P-6 itu dikesampingkan. Tidak dipertimbangkan oleh Majelis Hakim. Kan aneh ini. Kalau tanah itu dinyatakan milik Salam Prawirosoedarmo, seharusnya gugatan kami ya dikabulkan. Sebab secara formil jual beli itu pernah ada. Walaupun belum dihadapan PPAT,” imbuhnya.(fin)