SuaraBanyuurip.com – d suko nugroho
Bojonegoro – Kekeringan akibat musim kemarau ekstrem di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur terus meluas. Sedikitnya 71 desa di 20 kecamatan dilanda krisis air bersih. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) harus gerak cepat untuk mengatasi bencana tersebut dengan menerapkan hujan buatan atau Teknologi modifikasi cuaca (TMC).
Calon Legislatif Partai Demokrat Dapil IX Jawa Timur (Kabupaten Bojonegoro dan Tuban), H. Abdul Wahid Azar, SH menyampaikan teknologi TMC sudah jamak digunakan beberapa negara untuk menanggulangi bencana. Teknologi ini memiliki banyak manfaat untuk menanggulangi dampak musim kemarau panjang seperti sekarang ini. Seperti kekeringan, polusi udara, kebakaran hutan hingga bencana banjir yang kerap terjadi pada musim penghujan.
Cak Wahid, panggilan akrabnya, mengatakan, Pemkab, Badan Penganggulangan Bencana (BPBD) dan pihak terkait seharusnya sudah melakukan mitigasi dan menyiapkan langkah antisipasi, riset dan penelitian untuk memastikan apakah di Wilayah Bojonegoro memiliki potensi untuk membuat hujan buatan, karena diperlukan awan yang cukup untuk menghasilkan hujan.
“Selama beberapa hari saya berada di wilayah Bojonegoro, berkunjung ke SMA/SMK dan beberapa pondok pesantren, merasakan panas yang luar biasa. Sepanjang perjalanan terlihat hutan juga kering, bahkan sempat melihat ada yang terbakar,” tuturnya kepada suarabanyuurip.com, Selasa (10/10/2023).
Menurut dia, beberapa negara telah berhasil melakukan Hujan Buatan atau Teknologi modifikasi Cuaca (TMC) untuk menanggulangi bencana.
“Jika Bojonegoro bisa menerapkan teknologi ini, bencana kekeringan yang berdampak pada krisis air bersih, polusi udara, kebakaran hutan bisa ditanggulangi atau diminimalisir. Karena wilayah Bojonegoro dan sekitarnya bisa mendapatkan hujan,” tegasnya.
Ada beberapa metode yang dikembangkan dalam TMC. Yaitu cloud seeding adalah metode untuk menginjeksikan bahan kimia, seperti garam atau barium klorida, ke awan untuk merangsang pembentukan hujan.
Cloud bursting adalah metode untuk menginjeksikan bahan kimia, seperti garam atau barium klorida, ke awan untuk mempercepat proses pembentukan hujan.
Snow making adalah metode untuk menginjeksikan air ke udara untuk membentuk salju.
“Pemkab Bojonegoro perlu melakukan penelitian dan kajian lebih lanjut untuk menentukan jenis TMC yang paling tepat untuk digunakan di sini. Selain itu, pemerintah daerah juga perlu menyiapkan anggaran yang memadai untuk mendukung program TMC ini,” saran Cak Wahid yang juga Bendahara Umum Pengurus Pusat Ikatan Persaudaran Haji Indonesia (IPHI).
Cak Wahid menjelaskan, ada beberapa manfaat jika TMC diterapkan di Kabupaten Bojonegoro. Di antaranya mengatasi kekeringan. TMC dapat digunakan untuk meningkatkan curah hujan di wilayah yang mengalami kekeringan. Hal ini dapat membantu petani untuk meningkatkan hasil panen.
“Juga mengisi debit air dari bendungan bendungan yang kering, yang dibangun oleh Pemda Bojonegoro,” ujarnya.
Manfaat lainnya TMC adalah bisa mengurangi banjir. TMC dapat digunakan untuk mendistribusikan curah hujan secara merata. Hal ini dapat membantu mengurangi risiko banjir. Dan, dapat mencegah polusi udara karena TMC dapat digunakan untuk membersihkan udara dengan cara menghilangkan polutan dari awan.
“Dengan adanya TMC, Bojonegoro dapat memanfaatkan sumber daya alamnya secara lebih optimal dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” pungkas pria asli Kabupaten Bojonegoro dari Kecamatan Kasiman ini.
Dikonfirmasi terpisah, Kepala Pelaksana BPBD Bojonegoro, Ardhian Orianto mengatakan belum memiliki rencana untuk menerapkan TMC guna menanggulangi bencana kekeringan.
“Belum,” ujar Ardhian melalui pesan WhatsApp.
Sebagai informasi, BPD Bojonegoro hingga saat ini telah mendistribusikan 1.010 rit air bersih untuk warga di 71 desa di 20 kecamatan yang dilanda krisis air bersih.(suko)