SuaraBanyuurip.com – Arifin Jauhari
Bojonegoro — Perkara dugaan korupsi Bantuan Keuangan Khusus Desa (BKKD) di Kecamatan Padangan, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur telah berlanjut dengan penetapan tersangka empat kepala desa (kades). Namun, masih ada empat kepala desa dan mantan camat yang diduga kuat turut telibat perkara rasuah belum ditetapkan sebagai tersangka.
Keempat kades di Kecamatan Padangan yang sudah ditetapkan tersangka oleh Polda Jatim yakni Kades Tebon, WST, Kades Dengok, SPR, Kades Purworejo, SKR, dan Kades Kuncen, SYF. Saat ini mereka telah dilimpahkan oleh penyidik Polda Jatim ke Kejaksaan Negeri Bojonegoro untuk proses hukum lebih lanjut.
Namun, penahanan empat tersangka oknum kades tersebut mengundang pertanyaan publik. Pasalnya dalam petikan salinan putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tipikor Surabaya menyebutkan, bahwa perkara korupsi itu tidak dapat dilakukan oleh Terdakwa (kini terpidana) Bambang Soedjatmiko sendiri secara terpisah. Melainkan ada peranan pihak lain.
Majelis Hakim Tipikor Surabaya dalam salinan putusannya menilai, berpendapat, dan berkeyakinan, pihak lain yang berperan dalam perkara korupsi ini adalah saksi Heru Sugiharto yang saat itu menjabat Camat Padangan, dan delapan kades.
Kedelapan kades itu dinilai oleh Majelis Hakim telah secara sadar mempunyai niat dan kehendak yang sama untuk bekerja sama melakukan perbuatan yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku dalam pengelolaan dana BKK untuk pekerjaan pembangunan jalan di Desa Cendono, Kebonagung, Kendung, Kuncen, Dengok, Prangi, Purworejo, dan Tebon yang mengakibatkan kerugian keuangan negara.
“Nah padahal dalam salinan putusan terhadap klien kami terpidana Bambang Soedjatmiko, perbuatan dugaan korupsi itu dilakukan bersama-sama dengan mantan Camat Padangan dan delapan kades, kenapa cuma empat yang jadi tersangka? Ini pertanyaan masyarakat,” kata Penasehat Hukum (PH) Bambang Soedjatmiko, Pinto Utomo kepada Suarabanyuurip.com, Sabtu (06/07/2024).
Oleh sebab itu Pinto berpendapat, sesuai pertimbangan tiga Majelis Hakim Tipikor Surabaya semestinya perkara ini berlanjut dengan penetapan tersangka terhadap mantan Camat Padangan dan delapan kades yang disebut dalam salinan putusan.
“Terus yang empat kades lainnya kenapa tidak dtetapkan jadi tersangka sekalian plus mantan Camat Padangan, okelah yang satu kades sudah meninggal dunia secara hukum sudah tidak punya tanggungan, tapi yang tiga (kades) itu bagaimana,” ujarnya.
Pandangan dan pendapat hukum Pinto Utomo ini belum mendapat tanggapan resmi dari penyidik Polda Jatim. Suarabanyuurip.com masih terus melakukan upaya mengkonfrontir hal tersebut.
Kanit I Unit III Tipikor Ditreskrimsus Polda Jatim, Kompol I Putu Angga Feriyana sebelumnya memberikan penjelasan, bahwa perkara ini adalah lanjutan atau split dari perkara sebelumnya dengan tersangka yang sudah naik status terdakwa Bambang Sudjatmiko.
“Saat ini Bambang Sudjatmiko sudah dilakukan penuntutan dan persidangan dan sudah inkracht, sudah vonis 7 tahun yang penyidikannya di tahun 2023,” jelasnya dalam konferensi pers di Polda Jatim, Rabu 8 Mei 2024 lalu.
Untuk diketahui, dallam perkara ini, Bambang Soedjatmiko telah melakukan pekerjaan infrastruktur jalan Aspal dan Rigid Beton di beberapa desa Kecamatan Padangan. Diantaranya, Desa Cendono Rp869.550.000, Desa Kuncen Rp594.550.000, Desa Kebonagung Rp334.455.000, Desa Kendung Rp297.275.000, Desa Dengok Rp863.115.000, Desa Prangi Rp1.165.175.000, Desa Purworejo Rp1.262.305.000, Desa Tebon Rp970.970.000.
Dalam pelaksanaan, terkumpul biaya total Rp. 6.375.395.000. Setelah dilakukan audit pekerjaan infrastruktur untuk pembangunan jalan rigid beton ditemukan kerugian negara Rp. 1,6 miliar lebih, meski ada sisa anggaran yang sudah dikembalikan.
Desa yang mengembalikan sisa anggaran diantaranya Desa Dengok Rp130.000.000, Desa Prangi Rp200.705.000, Desa Tebon Rp297.300.000, dan Desa Purworejo Rp100.025.000.(fin)