SuaraBanyuurip.com — Arifin Jauhari
Bojonegoro — Setoran deviden PT Bojonegoro Bangun Sarana (BBS), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur jumlahnya naik turun dari masa ke masa jabatan tiap direkturnya. Jumlah deviden ini tidak stabil sebab BBS belum memiliki bisnis yang sifatnya berkelanjutan.
Manager Operasi BBS, Ali Imron menuturkan, jumlah deviden yang disetorkan BBS Bojonegoro, sejak jabatan direktur pertama dan seterusnya tak stabil. Kali pertama, Direktur BBS dijabat oleh Meduk Subianto pada periode 2006 sampai dengan tahun 2010, deviden BBS sebesar Rp3.484.728.786,00.
Lalu ketika Direktur BBS dijabat oleh Deddy Afidick mulai tahun 2011 sampai dengan tahun 2015, deviden BBS naik pesat hingga tembus Rp8.563.680.899,00. Jumlah deviden ini merupakan akumulasi tertinggi. Alasannya, capaian itu dipengaruhi oleh banyaknya project waktu itu.
“Masa 2011-2015 ini banyak project dari KKKS,” kata Ali Imron kepada Suarabanyuurip.com ditemui di kantornya, Rabu (08/01/2025).
Berikutnya, pada masa jabatan Tonny Ade Irawan sejak 2017 sampai dengan 2019, deviden BBS turun di angka Rp535.681.024,00. Kemudian deviden BBS naik lagi ketika dijabat oleh Thomas Gunawan pada 2020 sampai dengan 2021. Yaitu sebesar Rp3.620.236.240,00.
Selanjutnya, pada tahun 2022 sampai tahun 2023, badan usaha plat merah ini dijalankan oleh Pelaksana Tugas (plt) Direktur, Setyo Hartono. Devidennya dalam waktu satu tahun itu yakni Rp2.127.089.246,00. Mantan Wakil Bupati Bojonegoro periode 2008-2013 dan 2013-2018 ini ditunjuk lagi menjadi Plt Direktur BBS melalui RUPS pada 23 Februari 2024 lalu.
“Untuk deviden tahun 2024 masih dilakukan audit,” ujar Ali Imron.
Dijelaskan, jumlah deviden BBS ini naik turun sebab pekerjaan itu didapat ketika ada project dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) minyak dan gas bumi (migas) dengan mengikuti tender secara normatif yang sesuai dengan syarat dan ketentuan yang ada di KKKS.
Artinya deviden naik turun karena belum ada bisnis yang sustainable yang sampai dengan hari ini dikatakan masih menjadi Pekerjaan Rumah (PR) bagaimana membangun industri hilir di Kabupaten Bojonegoro. Sebab satu satunya upaya untuk memiliki unit bisnis yang sustainable dengan cara membangun industri hilir.
“Industri hilir itu ya macam-macam, mulai pengolahan, pengangkutan, penampungan, dan sebagainya,” jelasnya.
Disinggung tentang bisa tidaknya bisnis BBS dikembangkan ke arah hulu migas. Imron menegaskan, bahwa itu bisa dilakukan. Namun mengenai hal itu harus ada dua hal yang harus dipersiapkan. Yaitu mempersiapkan finansial dan persiapan teknis.
Ini mengingat industri hulu migas tergolong bisnis yang memiliki resiko tinggi atau high risk dan bisnis yang membutuhkan modal tinggi atau high investment.
“Maka berkaitan dua hal tadi bagaimana mempersiapkan modal BUMD dan bagaimana Sumber Daya Manusia (SDM)-nya,” lanjut Imron.
Sedangkan ditinjau dari sisi regulasi, usaha hulu migas dapat dilakukan oleh BUMD, mengacu pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Pasal 9 tentang Minyak dan Gas Bumi menyebutkan bahwa kegiatan usaha minyak dan gas bumi baik yang mencakup aspek eksplorasi, eksploitasi, pengolahan, penyimpanan, pengangkutan, dan niaga sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 angka 1 dan angka 2 dapat dilaksanakan oleh BUMD.
“Jadi secara regulasi bisa, karena BUMD memiliki hak untuk mengelola industri migas baik di hulu maupun hilir,” tandasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi B DPRD Bojonegoro, Lasuri mengatakan, modal dasar yang diberikan Pemkab Bojonegoro sudah dipenuhi PT BBS. Karena sejak berdiri pada 12 Oktober 2006 hingga 2023 telah diberikan modal dari Pemkab Bojonegoro sebesar Rp 11.500.000.000,00.
Dari modal Rp11,5 miliar tersebut BBS telah memberikan keuntungan bagi Pemkab Bojonegoro sebesar Rp 18,3 miliar, termasuk ekuitas sebesar Rp 27,6 miliar. Namun, perusahaan plat merah itu harus segera berbenah karena semenjak berdiri belum pernah mengelola proyek besar terutama di sektor migas.
“(karena) Dari tahun ke tahun PT BBS hanya mengelola sumur minyak peninggalan Belanda,” bebernya.(fin)