Oleh: Agus Sighro Budiono
Di era globalisasi saat ini, persaingan antar kota dalam menarik investasi, wisatawan, talenta, maupun perhatian publik semakin ketat.
Tidak hanya negara, kota-kota di seluruh dunia juga berlomba-lomba membangun citra positif yang mampu membedakan diri mereka dari kota-kota lainnya.
Di sinilah konsep city branding menjadi sangat relevan. City branding merupakan upaya sistematis suatu kota untuk membangun, mengelola, dan mempromosikan identitas uniknya sehingga mampu menarik berbagai pihak untuk datang, berinvestasi, ataupun bermukim.
Secara sederhana, city branding adalah proses menciptakan brand atau merek bagi sebuah kota. Merek ini bukan sekadar logo atau slogan, melainkan keseluruhan persepsi, citra, dan pengalaman yang diasosiasikan orang-orang ketika mendengar nama kota tersebut.
City branding melibatkan elemen-elemen fisik, sosial, budaya, hingga tata kelola pemerintahan. Tujuan utama city branding adalah meningkatkan daya saing kota di berbagai sektor. Dalam bidang pariwisata, city branding yang kuat dapat meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan.
Dalam bidang investasi, citra kota yang baik dapat menarik investor domestik maupun asing. Bagi penduduknya, city branding yang positif menciptakan rasa bangga dan identitas bersama yang memperkuat kohesi sosial.
Namun, membangun city branding bukanlah hal yang instan.
Dibutuhkan perencanaan matang yang melibatkan banyak pihak, mulai dari pemerintah, swasta, akademisi, hingga masyarakat umum. Salah satu kunci keberhasilan city branding adalah keotentikan.
Kota harus mampu menggali keunggulan dan kekhasan lokalnya, bukan sekadar meniru keberhasilan kota lain. Misalnya, sebuah kota kecil dengan kekayaan budaya lokal dapat mempromosikan diri sebagai pusat kesenian tradisional, jangan memaksakan diri untuk mencoba meniru kota metropolitan.
Selain itu, konsistensi dalam membangun dan memelihara citra juga penting. Semua kebijakan dan pembangunan infrastruktur sebaiknya selaras dengan identitas yang ingin dibangun. Kampanye promosi harus didukung oleh realitas di lapangan. Jika slogan kota menyatakan “Bersih dan Nyaman”, maka kebersihan lingkungan dan pelayanan publik harus benar-benar menjadi prioritas.
Keberhasilan city branding adalah tercapainya tujuan untuk membuat kota menjadi destinasi wisata yang menarik dan diinginkan. Selain itu dengan terciptanya citra positif kota dapat menarik investor untuk berinvestasi dan mengembangkan bisnis di kota tersebut.
Secara psikologis city branding juga harus mampu meningkatkan rasa bangga dan identitas diri warga kota. Sehingga meningkatkan kepercayaan diri warganya untuk bersaing dengan kota lain di tingkat nasional maupun internasional.
Sudah sejak lama kita mendengar beberapa kota dengan city branding yang konsisten, meskipun rezimnya berganti. Diantaranya adalah, Yogyakarta:
Menggunakan slogan “Jogja Istimewa” dan fokus pada kebudayaan dan ciri khas Yogyakarta. Lalu Solo. Mempromosikan diri sebagai “Solo, the Spirit of Java” yang menekankan kebudayaan Jawa.
Kemudian Bandung membranding diri sebagai “Paris van Java” karena desain dan keindahan kota. Dan karena sikap konsisten dan tidak ada egoisitas politis yang mengintervensi, branding yang dipilih benar benar mampu menegaskan identitas wilayah dengan kuat.
Gagasan membuat City branding Bojonegoro mulai dilakukan pada era bupati Suyoto dengan tagline “BOJONEGORO MATOH” Selama 10 tahun kepemimpinan Kang Yoto, sebenarnya brand Bojonegoro Matoh hampir pasti menjadi identitas kabupaten ini. Berbagai event dan media promo secara masive mengenalkan kata kata Bojonegoro Matoh sebagai sebuah spirit yang terus didengungkan untuk melahirkan rasa bangga bagi wong Jonegoro.
Selain itu, kata “Matoh” sudah terlanjur menempel di hati sebagain warga Bojonegoro, sehingga sampai saat ini kata kata “Matoh” masih kerap diucapkan untuk menyatakan rasa kagum atau pujian bagi sesuatu yang dinilai bagus atau istimewa.
“Matoh” merupakan kosakata atau dialek Bojonegaran asli. Sehingga sudah sangat mengakar di lidah masyarakat Bojonegoro.
Namun seiring pergantian rezim. Pada 2018 saat kekuasaan Anna Muawanah, seorang bupati perempuan pertama di Bojonegoro brand dan tagline Bojonegoro Matoh seakan menjadi kata kata “haram” untuk diucapkan. Bahkan tenda-tenda UMKM yang bertuliskan Bojonegoro Matoh ditutup dengan cat, dan sebagian yang tidak ditutup dimusnahkan entah kemana.
Tagline kota Bojonegoro berubah menjadi “PINARAK BOJONEGORO” meski juga mengambil istilah yang lazim di tengah masyarakat, kata “Pinarak” terasa terlalu umum dan tidak mampu menciptakan ikatan psikologis pada wong Jonegoro.
Secara etimologi kata “Pinarak” berarti duduk sebentar. Disini dapat kita rasakan bahwa tagline pinarak lebih menyasar pada orang lain bukan orang Bojonegoro. Artinya secara psikologis masyarakat tidak punya ikatan emosional terhadap kata “Pinarak”.
Penggunaan kata “Pinarak” terasa kurang mempunyai visi bagi wong Bojonegoro sendiri, karena tidak mencerminkan sifat internal atau semangat yang lahir dari dalam diri masyarakat Bojonegoro, kata “Pinarak” lebih bersifat eksternal yang ditujukan kepada orang lain untuk datang dan singgah di Bojonegoro. Padahal seharusnya city branding lebih mencerminkan kondisi atau citra Bojonegoro sehingga orang lain akan datang dan singgah atau pinarak.
Jadi pinarak sebenarnya lebih berorientasi kepada tujuan, sementara city branding adalah sebuah proses dan situasi positif pada diri warga dan kota Bojonegoro yang harus terus berlanjut.
Kemudian di era kepemimpina Bupati Setyo Wahono saat ini, tagline Bojonegoro berubah menjadi “MEDHAYOH BOJONEGORO”.
Seperti halnya Pinarak, kata MEDHAYOH juga sangat umum dan bersifat eksternal.
Medayah berarti bertamu. Siapa yang bertamu?, ya tentu saja orang yang berasal dari luar Bojonegoro, atau orang Bojonegoro yang pernah tinggal Bojonegoro.
Kata Medhayoh sebenarnya lebih tepat menjadi sebuah program pemerintah untuk mendatangi dan menyerap aspirasi, menampung keluhan warga Bojonegoro. Misalnya Bupati Setyo Wahono Medhayoh ke desa A untuk memotivasi warga. Ibu Wakil Bupati Nurul Azizah Medhayoh di komunitas disabilitas, dan lain sebagainya.
Dengan program Medhayoh ini tentu akan terbangun citra bahwa pemimpin yang dipilih oleh 89% wong Bojonegoro ini terasa tidak berjarak dengan rakyat.
Artinya sekali lagi, kata “Medhayoh” lebih tepat menjadi istilah yang digunakan untuk mencitrakan program komunikasi Bupati dan Wakil Bupati dari pada menjadi tagline yang tidak bisa secara langsung dilihat hasilnya. Karena tagline atau city branding adalah semangat yang harus terus didengungkan secara berkelanjutan dan kompleks.
Istilah Medhayoh juga sudah dikenal masyarakat sebagai sebuah event di Desa Dolokgede yaitu Festival Medhayoh yang rutin diadakan setiap tahun seiring dengan kehadiran Menteri Pratikno yang merupakan putra Daerah Bojonegoro asal Desa Dolokgede, Kecamatan Tambakrejo.
Jika kata Medhayoh ini diadopsi sebagai tagline kota Bojonegoro, tentu keistimewaan Desa Dolokgede dengan adanya Festival Medhayoh yang sudah mulai didengar dan diketahui para pegiat wisata di beberapa kota di Jawa Timur dan Jawa Tengah akan berpengaruh sebab tidak lagi spesifik yang menjadi identitas Desa Dolokgede.
Untuk itu perlu dikaji ulang oleh pihak yang berkompeten dalam menentukan tagline dan city branding Bojonegoro, agar penentuan tagline dan City branding tidak melemahkan identitas suatu wilayah di Bojonegoro, tetapi justru semakin menguatkan, serta mampu membangkitkan semangat warga Bojonegoro secara umum untuk mendukung dan mempromosikan city branding Bojonegoro.
Akhir kata, city branding bukan sekadar soal membangun citra, melainkan sebuah proses strategis untuk menciptakan keunggulan kompetitif sebuah kota dan warganya secara berkelanjutan.
Dengan city branding yang kuat, sebuah kota dapat meningkatkan kualitas hidup warganya, menarik perhatian dunia, serta menciptakan identitas yang membanggakan bagi generasi mendatang.
Keterangan:
MATOH = (kata sifat; Hebat, Istimewa Excellent (English)
PINARAK = (kata kerja; singgah duduk sebentar)
MEDHAYOH = (kata kerja; bertamu)
Penulis adalah pegiat budaya dan sekretaris Kelompok Kerja Kebudayaan Bojonegoro.