SuaraBanyuurip.com – Dua mantan Anggota DPRD Bojonegoro, Jawa Timur, Agus Susanto Rismanto dan Anwar Sholeh mengungkit masalah mundurnya pemerintah kabupaten (pemkab) dari penyertaan modal (Participating Interest/PI) Gas Jambaran-Tiung Biru (JTB). Mereka menilai, Pemkab Bojonegoro membuang peluang pendapatan besar yang seharusnya bisa menambah pundi-pundi pendapatan asli daerah (PAD).
“Bukan hanya PI Gas JTB, tapi PI Sukowati, Blok Tuban dan Kolibri, lepas. Jadi ada tiga potensi peluang pendapatan besar yang seharus didapat Bojonegoro,” tegas Agus Susanto Rismanto periode 2009-2014 dikutip suarabanyuurip.com saat menjadi narasumber Dewan Jegrank bertema “BUMD Bojonegoro dan Relevansinya untuk PAD”, Kamis (13/11/2025).
Gus Ris, pangilaan akrabnya, menjelaskan berdasarkan Undang-undang Nomor 22 tahun 2021 tentang Migas dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 tahun 2024 tentang penawaran PI 10%, daerah diberi hak untuk menggandeng pemodal. Namun aturan itu kemudian berubah, dan terbit Peraturan Menteri ESDM Nomor 37 Tahun 2016 tentang ketentuan penyertaan modal (Participating Interest/PI) 10% pada wilayah kerja migas. Permen ESDM ini mengatur skema golden share, pendanaan PI 10% semuanya ditanggung oleh kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) Migas, dan Kabupaten Bojonegoro hanya diminta untuk membentuk Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Pembentukan BUMD baru ini, lanjut Gus Ris, untuk mengelola PI 10% di Pad B Lapangan Sukowati Blok Tuban, Lapangan Gas JTB, dan Lapangan Kolibri. Ketiga PI tersebut harus dikelola oleh BUMD berbeda.
“Tapi pemerintah daerah sampai hari ini tidak membuat BUMD. Sebenarnya enak kalau Bojonegoro mau mengelola PI di tiga lapangan itu. Kalau dulu BUMD harus ribut cari pemodal, tapi dengan terbitnya PP baru itu, semua moda PI ditanggung oleh Pertamina sebagai KKKS. Bojonegoro hanya tinggal membikin BUMD, tapi tidak bikin. Jadi untuk PI yang tiga itu kita lose, kita hanya dapat PI yang dari Blok Cepu itu,” tuturnya.
Gus Ris mengaku pernah mempertanyakan alasan Bojonegoro tidak mengelola PI dari tiga lapangan migas itu kepada bupati periode 2018-2023.
“Saya tidak tahu alasan Bupati saat itu mengapa tidak mengambil PI yang tiga itu. Tapi saat saya konfirmasi orang di internalnya, jawabnya, tidak usah dipikir PI yang tiga itu, karena dari DBH Migas kita sudah dapat banyak,” ungkapnya.
Namun, Gus Ris menyayangkan sikap pemerintah yang dulu. Sebab lapangan JTB merupakan produsen gas terbesar se Asia Tenggara. Apalagi pada tahun 2026, pemerintah pusat akan memotong transfer ke daerah (TKD) dari dana bagi hasil (DBH) Migas sebanyak 3% atau sekitar Rp 1,3 triliun.
“Bayangkan kalau itu bisa dikelola. Berapa pendapatan dari PI Gas JTB yang bisa diterima Bojonegoro,” ucapnya.
Senada disampaikan Anwar Sholeh. Mantan Ketua DPRD Bojonegoro periode 1999-2004, itu mengaku mengikuti perjalanan rencana pengembangan (plan of developmen/PoD) lapangan migas di Bojonegoro. Sehingga dirinya sangat menyayangkan ketika Bupati Bojonegoro sebelumnya saat tidak mau menandatangani PI di tiga lapangan migas.
“PI Gas JTB itu uang ratusan milyar. Tapi mengapa tidak mau menandatangani. Sakit hati saya, karena saya mengikuti sejak awal. Makannya saya ingin transmigrasi dari Bojonegoro,” tegas Anwar.
Menurut dia, kebijakan Menteri ESDM yang saat itu dijabat Igasius Jonanan tentang perubahan skema pembiayaan PI sudah tepat. BUMD pengelola PI tidak perlu memikirkan modal atau mencari pemodal, karena sudah ditanggung oleh KKKS.
“Padahal itu gratis..tis..tis. Bupati hanya tandatangan saja, dan membentuk BUMD. Tapi kok tidak mau,” tegasnya jengkel.
Gus Ris menambahkan, untuk mengelola PI di tiga lapangan itu DPRD hanya tinggal membentuk panitia khusus (Pansus) dan Pemkab Bojonegoro membentuk tiga BUMD untuk mengelola PI Sukowati, JTB dan Kolibri.
“Itu kalau Pemkab dan DPRD ingin Bojonegoro mengelola tiga PI lagi,” pungkasnya.
PI JTB sudah Selesai 2018

Pertamina EP Cepu (PEPC) sebelumnya menyampaikan, porsi hak kelola atau participating interest (PI) di Lapangan Unitisisasi Gas Jambaran-Tiung Biru (J-TB) sudah diselesaikan akhir tahun 2018 lalu, melalui pengembalian dana investasi kepada Badan Kerja Sama (BKS) Blok Cepu.
“Sudah diselesaikan akhir tahun 2018. Jadi PI di JTB itu sudah 100% Pertamina dengan 92% PEPC dan 8% Pertamina EP,” ujar Direktur Utama PEPC Jamsaton Nababan, kepada Suarabanyuurip.com saat Pers Conference Peresmian Pemancangan Perdana Proyek EPC GPF Jambaran-Tiung Biru, Jumat (4/1/2019).
Jamsaton menegaskan, PI lapangan gas JTB sudah 100% dikuasai oleh PT Pertamina (Persero) yang tersebar di PEPC dan Pertamina EP. Pada awalnya, hak kelola di lapangan JTB ini dipegang ExxonMobil dan PT Pertamina EP Cepu masing-masing 41,4%. Sisanya PT Pertamina EP sebesar 8%, dan empat BUMD yang tergabung dalam Badan Kerja Sama (BKS) Blok Cepu sebesar 9,2%. Sebab, saat itu lapangan Jambaran masih menjadi bagian dari Blok Cepu.
“Jadi kewajiban bisnis to bisnis sudah kita selesaikan, bahkan dengan ExxonMobil Cepu Limited atau EMCL terlebih dahulu. Baru, dengan BKS atau empat BUMD,” tandasnya.
Menurut Jamsaton, nilai investasi di J-TB yang dikembalikan kepada BKS Blok Cepu kurang lebih USD17-18 juta. Sementara untuk nilai investasi masing-masing BUMD, ia mengaku tidak hafal.
“Itu adalah pengembalian cashcall yang sudah diberikan dulu diawal-awal project, hanya pengembalian yang sudah disetor diawal,” imbuhnya.
Sebagai informasi, investasi PI gas JTB yang dikembalikan sebesar USD18 juta dibagi kepada empat BUMD yang tergabung dalam BKS Blok Cepu sesuai porsi kepemilikannya. Empat BUMD itu adalah Petrogas Jatim Utama Cendana (PJUC) dengan porsi 2,2423%, Sarana Patra Hulu Cepu (SPHC) 1,0910%, Asri Dharma Sejahtera (ADS) 4,4847% dan Blora Patragas Hulu (BPH) 2,1820%.
Biaya yang akan dikembalikan itu merupakan biaya yang selama ini dikeluarkan empat BUMD, namun menyatakan undur diri sejak akhir tahun 2017 lalu. Mundurnya keempat BUMD ini dikarenakan pengembangan lapangan gas JTB dinilai tidak ekonomis sscara bisnis.(red)






