Oleh : D Suko Nugroho
PEMERINTAHÂ Kabupaten (Pemkab) Bojonegoro, Jawa Timur, telah mengeluarkan kebijakan baru tentang skema pembagian program tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR) untuk operator migas yang beroperasi di wilayahnya. Skemanya, kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) atau operator migas harus mengucurkan CSR-nya, 60% untuk warga ring satu atau terdampak, dan 40% bagi warga di luar ring. Kebijakan tersebut akan diterapkan pada 2020 mendatang.
Ada beberapa alasan yang dikemukakan Pemkab Bojonegoro. Pertama, untuk pemerataan pembangunan agar program CSR yang dikucurkan perusahaan migas tidak terkonsentrasi di desa-desa ring 1. Pertimbanganya, desa-desa terdampak telah mendapatkan kucuran alokasi dana desa (ADD) cukup besar.
Kedua, menghindari adanya tumpah tindih program antara CSR dari operator migas dengan desa dan pemkab. (Baca : https://www.suarabanyuurip.com/kabar/baca/antisipasi-gejolak-sosial-skk-migas-minta-skema-baru-pembagian-csr-disosialisasikan).
Dalil lainnya, skema 60 : 40 ini untuk diselaraskan dengan RPJMD Bojonegoro yang menitikberatkan pada sumber ekonomi kerakyatan, dan sosial budaya lokal untuk terwujudnya masyarakat yang beriman, sejahtera, dan berdaya saing. (Baca : https://www.suarabanyuurip.com/kabar/baca/minta-mekanisme-penyaluran-csr-migas-tak-dipersulit).
Kabar yang berkembang, kebijakan baru tentang skema pembagian CSR ini merupakan keinginan Bupati Bojonegoro Anna Muawanah. Tujuannya mempercepat 17 program prioritas yang menjadi janji kampanyenya saat perhelatan Pilkada lalu. Dengan begitu akan mampu mendongkrak elektoralnya sebagai bekal maju dalam Pilkada mendatang.
Jika kebijakan tersebut benar-benar diterapkan pada 2020, maka anggaran CSR dari operator migas untuk desa terdampak akan berkurang banyak. CSR dari EMCL, misalnya. Sebesar Rp20 miliar yang akan dikucurkan untuk wilayah Bojonegoro.Jika 40% dialihkan ke desa di luar ring, berapa miliar rupiah hak warga terdampak di wilayah Kecamatan Gayam yang akan hilang ? (Baca : http://m.suarabanyuurip.com/kabar/baca/emcl-siapkan-csr-rp20-miliar-untuk-bojonegoro).
Begitu juga untuk warga terdampak ring satu Lapangan Unitisasi Gas Jambaran – Tiung Biru. Padahal tahun 2020, Pertamina EP Cepu telah mengajukan anggaran CSR ke SKK Migas sebesar Rp6,7 miliar. (Baca : http://m.suarabanyuurip.com/kabar/baca/pepc-alokasikan-dana-ppm-rp-6-7-miliar-di-tahun-2020)
Belum lagi CSR dari Pertamina Asset 4 Filed Sukowati, pengelola Lapangan Migas Sukowati; dan Pertamina EP Asset 4 Fiels Cepu, pemilik wilayah Lapangan Sumur Minyak Tua Wonocolo.
Padahal skema baru pembagian CSR tidak sesuai dengan Perautaran Daerah (Perda) Nomor 5 tahun 2015, tentang Tanggungjawab Sosial Perusahan (TSP). Dalam regulasi tersebut tidak mengatur tentang skema pembagian CSR dari perusahaan. Peran dan tanggungjawab pemerintah daerah dalam perda tersebut diantaranya hanya memfasilitasi terbentuknya forum pelaksana dan penyelenggaraan TSP; dan melaksanakan pengawasan, kajian dan monitoring, dan evaluasi.
Warga Terdampak Sudah Berkorban Banyak
Kebijakan baru pembagian CSR oleh Pemkab Bojonegoro, juga tidak didasarkan pada sejarah. Pemkab seperti menutup mata. Tidak melihat bagaimana masyarakat ring satu lapangan migas telah berkorban banyak untuk pengembangan lapangan migas di Bojonegoro. Warga rela melepas sawah ladang yang menjadi gantungan hidup mereka untuk kepentingan negara. Sekalipun tidak ada jaminan mereka maupun keluarganya dijadikan karyawan organik perusahaan migas. Hanya tenaga-tenaga terampil. Warga pribumi menjadi pekerja kasar saat konstruksi. Setelah itu kembali menganggur.
Tidak hanya itu, warga ring satu juga merasakan dampak negatif dari kegiatan pengembangan yang dilakukan operator migas. Seperti sosial budaya. Mereka dipaksa menerima budaya-budaya yang dibawa pekerja luar daerah. Merusak pranata sosial lingkungan desa sekitar. Budaya gotong-royong yang sebelumnya melekat erat luntur. Semua dinilai dengan materi.
Belum lagi bising deru mesin lalu lalang kendaraan proyek yang melintas perkampungan warga mulai pagi hingga malam. Pun dampak lingkungan akibat kegiatan ekstraktif telah menjadi kawan karib mereka. Seperti polusi debu, suhu panas hingga kebocoran gas beracun. Semua itu pertama kali yang merasakan warga sekitar lokasi industri. Bukan warga yang jauh dari pengeboran.
Dengan pengorbanan itu, seharusnya pemkab justru memberikan perhatian lebih kepada warga terdampak. Misalnya, meningkatkan pembangunan infrastruktur yang menjadi tanggungjawabnya. Karena, Pemkab mendapat Dana Bagi Hasil (DBH) Migas cukup besar. Besarnya setengah dari APBD Bojonegoro sekarang ini -P APBD 2019 Rp7,1 triliun. (Baca : https://beritajatim.com/politik-pemerintahan/pengesahan-p-apbd-2019-bojonegoro-tunggu-keputusan-gubernur/).
Selain DBH Migas, masih ada lagi retribusi pajak yang sah dari kegiatan industri migas yang menjadi tambahan pundi-pundi pendapatan Bojonegoro.
Pemdes Terdampak Menolak
Kebijakan Pemkab menerapkan skema baru pembagian CSR 60 : 40 langsung mendapat reaksi dari kepala desa terdampak. Mereka menolak kebijkan tersebut. Alasannya sederhana. Pertama, selama ini warganya terdampak langsung dari kegiatan eksplorasi dan eksploitasi. Alasan lainnya, warga ring satu yang pertama akan merasakan langsung dampak akibat kegagalan industri migas. Seperti kebocoran gas beracun yang berulang kali terjadi di Lapangan Migas Sukowati dan Lapangan Banyu Urip, Blok Cepu.
Warga terdampak harus dilarikan ke puskesmas maupun rumah sakit untuk memperoleh perawatan medis, karena mengalami mual, muntah-muntah hingga tak sadarkan diri. Sekalipun belum ada yang sampai meninggal dunia. Namun itu menjadi bukti nyata jika keselamatan warga terdampak menjadi taruhan.(Baca: https://suarabanyuurip.com/kabar/baca/desa-mojodelik-tolak-skema-baru-pembagian-csr).
Lain itu, alasan Pemkab yang menyebutkan desa-desa ring satu-sebagai desa penghasil migas- memperoleh alokasi dana desa (ADD) cukup besar, tidaklah semua benar. Penerimaan ADD antara desa-desa penghasil migas di wilayah Kecamatan Gayam dengan desa ring satu Migas Sukowati tidak sama. Bahkan jomplang jauh. (Baca : https://suarabanyuurip.com/kabar/baca/pemdes-ngampel-nilai-pembagian-csr-60–40-hanya-akal–akalan).
Perbedaan penerimaan ADD tersebut karena produksi minyak antara Lapangan Sukowati dengan Lapangan Banyu Urip, sangatlah berbeda jauh. Produksi minyak di Kecamatan Gayam yang dikelola ExxonMobil Cepu Limited (EMCL) sebanyak 225 ribu barel per hari (bph) atau setara 32 juta liter per hari (1 barel = 159 liter). Produksi dari lapangan Banyu Urip mampu memberikan pendapatan negara sebesar USD 325 – 350 juta per bulan atau setara Rp4,5 triliun per bulan.
Sedangkan produksi minyak Sukowati hanya 10 ribu bph. Sehingga ADD yang diterima desa sekitarnya cukup kecil. Sesuai produksi minyak yang dihasilkan.
Berkurangnya porsi CSR ini bisa jadi tidak mampu meng-cover kebutuhan warga sekitar operasi yang diajukan desa melalui musyawarah pembangunan desa (Musrenbangdes). Kondisi tersebut sangat mungkin memunculkan persoalan baru di akar rumput. Karena program CSR selama ini menjadi sarana komunikasi ampuh perusahaan migas untuk melakukan pendekatan dan mendapat dukungan dari pemerintah desa dan warga terdampak. Terlebih sampai sekarang belum ada sosialisasi perubahan skema pembagian CSR dari pemkab maupun operator migas kepada pemdes maupun warga terdampak.
Sedangkan di sisi lain, operator migas yang melakukan kegiatan di Bojonegoro tidak berani menolak keinginan Bupati Anna. Mereka takut jika izin kegiatannya akan dipersulit, dan menghambat operasinya. Apalagi investasi yang sudah dikeluarkan operator migas untuk kegiatan eksplorasi dan produksi tidak sedikit. Semua modal dan keuntungan itu baru bisa dinikmati setelah produksi.
APBD Tak Terserap Maksimal
Serapan APBD Bojonegoro hingga mendekati tutup tahun 2019, belum ada 50 %. Rendahnya serapan ini tentu berdampak pada tingginya sisa lebih pembiayaan anggaran tahun berkenaan (SiLPA). Tahun 2017, SiLPA sebesar Rp277 miliar, jumlah itu naik di tahun 2018 menjadi Rp2,3 triliun, dan 2019 sebesar Rp2,3 triliun.
Artinya, tingginya SiLPA ini menjadi bukti kinerja Pemkab Bojonegoro tak maksimal. Penyediaan layanan publik dan pembangunan ekonomi tidak optimal. Masyarakat dirugikan. Pembangunan dan layanan publik yang seharusnya dinikmati tahun ini, terpaksa tertunda.
Besarnya APBD Bojonegoro sekarang ini, seharusnya bisa mengkover pembangunan infrastruktur di wilayahnya-termasuk wilyah ring 1 migas-, tanpa harus ‘menyunat’ jatah CSR bagi warga terdampak. Dengan catatan, APBD tersebut dapat dikelola dengan baik dan benar. Namun kenyataannya seperti api jauh dari panggang. Wilayah terdampak terkesan dianak tirikan. Semua dibebankan kepada operator migas.
Perlu disadari, program CSR yang digulirkan perusahaan migas hanya sebagai pelengkap program pemkab. Bukan mengambil alih peran eksekutif.
Pemkab Seharusnya Sebagai Wasit
Adanya Perda No 5/ 2015 tentang TSP, semestinya bisa menjadi pegangan Pemkab. Karena regulasi tersebut merupakan instrumen dalam melaksanakan peran dan tanggungjawab pemerintah daerah dalam mengawal program CSR yang digulirkan perusahaan migas. Mulai dari memfasilitasi terbentuknya forum pelaksana dan penyelenggaraan TSP; melaksanakan pengawasan, kajian dan monitoring, dan evaluasi.
Fungsi pengawasan inilah yang seharusnya dioptimalkan oleh Pemkab tim fasilitasi CSR yang terdiri dari beberapa elemen masyarakat. Agar program CSR yang digulirkan operator migas tidak tumpang tindih dengan program pemkab. Juga tepat sasaran, sesuai kebutuhan warga, dan sejalan dengan program pemerintah daerah.
Dari pengawasan tersebut dapat dilakukan evaluasi dan sekaligus pemberian sanksi kepada perusahaan migas yang tidak menjalankan programnya sesuai komitmen. Selain itu, melalui evaluasi secara berkala juga menjadi sarana yang tepat untuk menakar apakah program CSR yang dilaksanakan operator migas sudah sesuai target yang diharapkan ataukah belum. Sehingga bisa dilakukan kajian secara matang untuk mengetahui kegagalan-kegagalan atau kelemahan-kelemahan dalam pelaksanaan program CSR guna menemukan solusinya.
Semua itu dapat dilaksanakan jika pemkab berperan sebagai wasit. Bukan pemain. Sehingga dapat berlaku adil. Adil bukan berarti harus membagi rata CSR. Karena mengalihkan program CSR sama saja merampas hak warga terdampak.
Penulis adalah wartawan suarabanyuurip.com