Trauma-Informed Positif Education Untuk Korban Kekerasan Seksual

Zeti Novitasari

Oleh : Zeti Novitasari

BELAKANGAN ini ramai lagi kasus kekerasan seksual terhadap korban, baik perempuan maupun anak-anak. Kebanyakan orang menyorot apa hukuman yang pantas bagi pelaku.Berapa tahun vonis yang dijatuhkan bagi pelaku kekerasan seksual. Jarang perhatian publik kepada bagaimana kondisi mental korban. Adakah bantuan untuk korban dan cara pemulihan mentalnya.

Data real di website kementerian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak menunjukan bahwa tingkat kekerasan seksual merupakan tindak kekerasan yang paling banyak terjadi pada anak dibandingkan dengan jenis kekerasan yang lain, seperti kekerasan fisik, psikis dan eksploitasi (KPPPA, 2022). Data tersebut didukung dengan data dari Komnas perempuan yang menunjukan jumlah Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) pada tahun 2019 yakni sebesar431.471, jumlah ini meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya (2018) sebesar 406.178 (Komnas Perempuan,2020). Akibat dari kekerasan seksual tentu memengaruhi perkembangan anak baik pada aspek kognitif, sosial-emosional maupun perilaku. Secara kognitif, kekerasan berdampak negative pada perkembangan otak terutama pada bagian pre frontal kortex (Stone & Bray, 2015). Hal ini diperkuat dari hasil penelitian yang menunjukan bahwa ukuran otak anak korban kekerasan lebih kecil dari pada anak pada umumnya (Perry, 2005) dan aktifitas neuronpada anak korban kekerasan cenderung lebih pasif (Whitfield et al., 2003).

Pada aspeksosial-emotional, anak-anak korban kekerasan menunjukan rendah self-esteem, depresi, stress, dan aggressive (Taylor et al., 2021) (Ho et al., 2021). Dampak lain dari kekerasan pada anak tampak pada perubahan perilaku misalnya menjadi pendiam, menyendiri, melukai diri sendiri dan orang lain, mengalami gangguan tidur dan menunjukan dissosiasi. Berdasarkan hasil dari penelitian-penelitian tersebut, kekerasan seksual memberikan dampak negative yang harus segera ditangani (Godboutetal.,2017).

FOTO ILUSTRASI : Kekerasan seksual.
© 2022 suarabanyuurip.com/Ist/sbu

Disisi perempuan selaku korban kekerasan seksual, hal ini sangat menimbulkan rasa takut berlebih tentunya, apalagi jika hal tersebut terjadi di tempat mereka melakukan aktivitas sehari-hari, karena perasaan takut akibat masih membekasnya kejadian yang dialaminya akan terus terbayang, terlebih jika harus bertemu langsung dalam jangka waktu yang sering dengan pelaku yang pernah melecehkannya. Sementara di sisi korban dipaksa bungkam akibat ancaman dari pelaku jika korban bersuara, hal ini akan sangat membuatkorban merasa tertekan tentunya. Banyak kasus kekerasan seksual korbannya tidak berani melaporkan pelaku kekerasan, mungkin karena pelaku adalah orang yang memiliki kuasa tinggi terhadapnya, bahkan akan terus dihantui rasa ketakutan setiap saat bagi korban jika memendamnya terlalu lama. Disinilah peran keluarga, teman, dan masyarakat sangat diperlukan, terlebih kita sama-sama tahu kejadian ini bisa terjadi dimana saja, tetapi kebanyakan kasus yang terjadi adalah di intansi-intansi tertentu, seperti sekolah, kampus, bahkan tempat bekerja. Jenis kekerasan seksualpun beraneka, yaitu kekerasan yang dilakukan dengan langsung bersentuhan fisik, kemudian dengan media elektronik yaitu mengirimkan gambar tidak senonoh kepada korban, hingga catcalling itu merupakan tindakan pelecehan kepada perempuan.

Kasus kekerasan seksual tidak bisa dianggap ringan, ini merupakan kasus yang marak terjadi di negara kita. Hal tersebut terjadi bisa saja karena pelaku yang merasa memiliki kuasa atau jabatan sehingga leluasa melakukannya, atau memang dilakukan oleh pelaku yang kurang edukasi dari keluarga terutama orangtua. Mengapa saya katakan dari keluarga terutama orangtua, karenakita sama-sama mengetahui bahwa sudah ada upaya pemerintah untuk mengenalkan kepada pelajar terkait bahaya dan akibat kekerasan seksual di instansi pendidikan. Walaupun memang tidak terlalu terbuka sekali dalam membahasnya, setidaknya upaya sudah dilakukan oleh pemerintah melalui tenaga pengajar untuk memberikan edukasi kepada pelajar di Indonesia. Tetapi tidak menutup kemungkinan pelaku kekerasan adalah orang yang berpendidikan tinggi dan dalam ilmu agamanya, tentunya ada alasan pelaku melakukan hal ini kepada korbannya. Selain itu, ada ketrampilan yang bisa diberikan melalui konselor sekolah untuk membantu korban kekerasan seksual yaitu trauma-informed positif education. Trauma-Informed merupakan salah satu pendekatan yangbisa diterapkan dalam layanan bimbingan dan konseling yaitu dengan selalu kolaborasi bersama orangtua serta pihak terkait.

Dengan adanya kasus di atas kita bisa lebih aware terhadap korban yang mengalami kasus kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan, pemerintah juga harus segera memberikan kebijakan dan perlindungan terhadap kasus ini agar tidak terjadi lagi kasus kekerasan seksual yang mengakibatkan korban hingga sampai ada yang bunuhdiri. Diperlukannya lembaga yang kapabel dalam bidang ini untuk merangkul korban kekerasan seksual agar ia tetap mempunyai harapan untuk hidup yang layak dan bahagia.

Penulis adalah Mahasiswa S3 Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Malang Dosen Bimbingan dan Konseling Unugiri Bojonegoro.

»Follow Suarabanyuurip.com di
» Google News SUARA BANYUURIP
» dan Saluran WhatsApp Channel SuaraBanyuurip.com


Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *