Sebut Lagu "Mangku Purel" Tak Elok Dinyanyikan Anak-anak

Dosen Prodi Bimbingan dan konseling Universitas Nahdatul Ulama Sunan Giri Bojonegoro, Dr. Yunita Dwi Setyoningsih, S.Psi., M.Pd.

Suarabanyuurip.com – Arifin Jauhari

Bojonegoro – Belakangan ini, sejumlah lagu dewasa sedang populer. Lagu berjudul “Mangku Purel” salah satunya. Seiring kian dikenal, lagu ini sering dinyanyikan para penggemarnya. Tak terkecuali, oleh anak-anak usia Sekolah Dasar (SD). Fenomena ini memicu reaksi para pegiat perlindungan terhadap perempuan dan anak. Mereka menyebut tak elok lagu semacam ini dinyanyikan oleh anak-anak.

Aktivis Perempuan dari unsur akademisi, Dosen Prodi Bimbingan dan konseling Universitas Nahdatul Ulama Sunan Giri Bojonegoro, Dr. Yunita Dwi Setyoningsih, S.Psi., M.Pd. menilai, fenomena lagu dewasa serupa dengan lirik dalam lagu “Mangku Purel” merupakan fenomena berulang. Terjadi tak hanya sekali dua kali saja.

Perempuan asli Semarang, Jawa Tengah ini menilai, lagu yang mengandung lirik seronok perlu untuk diwaspadai. Karena nampaknya terkesan hanya hiburan semata. Padahal di sisi lain, sebetulnya tersimpan bahaya degradasi moral pada anak melalui bahasa dalam lirik lagu itu.

Jika dilihat dari liriknya, perempuan yang akrab disapa Nita ini menilai lagu itu bagian dari simulasi melalui karya seni tentang realita sisi kehidupan sosial masyarakat, banyak yang sifatnya sensual dan vulgar.

“Kalau lagu ini dinyanyikan oleh anak-anak, bagi saya sebagai akademisi dalam bidang konseling ini memprihatinkan. Sayangnya sebagian orang tua tidak sadar ada risiko dibalik itu,” katanya kepada SuaraBanyuurip.com, Senin (09/01/2023).

Orang tua, disebut justru banyak yang menyukai lagu yang memang sedang digandrungi juga oleh banyak orang. Sehingga, kebanyakan terlena dan menganggap wajar saat anak-anak menyanyikan lagu dewasa, meski liriknya tidak pantas untuk anak-anak.

“Ini terlepas apakah anak-anak paham atau belum perihal liriknya ya. Misal lagu Bojo Galak. Juga Mangku Purel yang ada unsur erotis,” ujarnya.

Presidium Wilayah Jatim Koalisi Perempuan Indonesia, Nafidatul Hima.
© 2023 suarabanyuurip.com/Arifin Jauhari

Lagu “Mangku Purel” yang oleh sebagian orang tua anak dianggap lumrah, bahkan senang karena anaknya bisa menirukan lagu, sebetulnya berdampak pada perkembangan anak secara psikologis.

Padahal anak-anak belum memahami kosa kata dalam lirik lagu itu. Maka akan terjadi kecenderungan pada anak untuk mengartikan sendiri sesuai persepsi mereka sendiri. Sementara usia anak belum tentu mampu memilah dan memilih mana kosa kata yang baik dan tidak.

Kosa kata itu dikatakan dapat berdampak pada orientasi seksual terlalu dini. Dia menyebutkan bahwa terdapat penelitian yang membuktikan, anak-anak yang menyukai musik dan lagu dewasa terutama yang seronok, cenderung kurang berprestasi.

“Anak-anak tumbuh dengan meniru, dari melihat dan mendengar. Bisa saja mereka mendengar lagu di acara hajatan, atau media sosial. Jadi peran orang tua sangat penting dalam memfilter hal ini,” tandasnya.

Terpisah, Presidium Wilayah Jatim Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Nafidatul Hima berpendapat, fenomena ini terjadi karena kurangnya perhatian dari orang tua atau lingkungan sekitar.

Terutama jika anak-anak main tik tok atau menyanyikan lagu-lagu dewasa banyak orang tua atau tetangga membiarkan saja. Karena itu dianggap wajar.

“Padahal, dari contoh yang dia lihat ya begitu, akhirnya dengan mudahnya mereka menirukan,” ucapnya.

Selain itu, menurut perempuan yang punya latar belakang Guru Taman Kanak-Kanak ini, pengenalan budaya kepada anak juga masih kurang. Artinya misalnya kurang mengajarkan lagu-lagu untuk anak, bercerita, atau mengajak nonton kesenian yang sesuai usia.

“Kalau saya lihat, sering diajak nonton orkes atau elektun, saya nyebutnya gitu ya. Hiburan itu buat orang tua tapi anak-anak diajak, apalagi kalau anak-anak ikut joget malah di video dan disorakin. Itu miris menurutku ya,” ungkap ibu dua anak ini.

Di sisi lain, perempuan yang karib disapa Hima ini juga mengeluhkan, para pencipta lagu anak makin jarang berkarya. Namun Hima tidak bisa menduga penyebabnya. Apakah karena kurang laku dipasaran atau karena sebab lain.

Bagi Hima, solusinya bisa  dimulai dengan mengenalkan lagu-lagu anak dengan mengajak bernyanyi atau menonton lebih banyak lagu anak. Berasal dari keluarga, bisa juga di lingkungan sekitar, atau sekolah.

Pemerintah atau swasta bisa pula menggiatkan lomba atau acara yang memang bernuansa anak-anak. Contohnya lomba menyanyi, bercerita, dan sebagainya. Tidak hanya yang terlihat kebanyakan selama ini, yaitu lomba mewarnai atau fashion show.

“Atau lomba menciptakan lagu anak, untuk memunculkan pencipta lagu baru, banyak lho guru-guru TK yang pinter bikin lagu anak,” tandasnya.

“Lagu ‘Mangku Purel’ ini kurang pantaslah kalau dinyanyikan anak, karena memang lagu itu kan untuk konsumsi orang dewasa,” pungkasnya.(fin)

»Follow Suarabanyuurip.com di
» Google News SUARA BANYUURIP
» dan Saluran WhatsApp Channel SuaraBanyuurip.com


Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *