Suarabanyuurip.com – Teguh Budi Utomo
Tuban – Kalangan aktivis dan advokat di Tuban, Jawa Timur meminta agar jajaran Polres Tuban menerapkan Undang-undang Nomor: 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dalam menangani kasus Kekerasan Seksual (KS) yang menimpa anak di wilayah kerjanya di Kabupaten Tuban, Jawa Timur.
Kasus terbaru KS yang saat ini ditangani Reskrim Polres Tuban terjadi di wilayah Kecamatan Montong. Tersangkanya adalah ayah tiri yang baru sekitar 5 bulan sebelumnya menikahi ibu korban. Korban sendiri masih berusia kelas 1 SMP.
Kasat Reskrim Polres Tuban, AKP Tomy Prambana, saat diwawancarai wartawan menyatakan, dalam kasus pencabulan tersebut tersangka dijerat Pasal 82 jumto 76 e, dan pasal 81 junto 76 d KUHP. Ancaman hukumannya paling sedikit 5 tahun, dan paling lama 15 tahun.
Direktur LBH KP Ronggolawe Tuban, Nunuk Fauziah, menilai ada kemungkinan jajaran Reskrim Polres Tuban kurang memahami substansi dari UU TPKS. Dalam Pasal 25 ayat (1) telah dimandatkan, “Keterangan saksi dan/atau korban cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah jika disertai dengan 1 (satu) alat bukti sah lainnya dan hakim memperoleh keyakinan bahwa benar telah terjadi tindak pidana dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
“Untuk itu kami sangat berharap Polres sebagai jantung layanan pemberian kepastian hukum pada korban mampu merealisasikan UU TPKS tersebut,” tegas Nunuk Fauziah di Sekretariat LBH KP Ronggolawe di kompleks Perumahan Siwaan Permai di kawasan Jalan Al-falah Tuban, Jumat (26/5/2023) sore.
Amanat dari UU TPKS tersebut, tambah Nunuk Fauziah yang kala itu didampingi Advokat LBH KP Ronggolawe Khusnul Chuluq SH, sebenarnya sangat efektif untuk memberikan sanksi hukum terhadap pelanggarnya. Sekaligus juga memberi perlindungan terhadap korbannya, apalagi rata-rata dalam kasus KS yang jadi korban adalah perempuan berusia anak.
“Sisi itu yang harusnya menjadi pertimbangan agar dalam kasus KS, jajaran kepolisian menerapkan UU TPKS,” tegas Khusnul Chuluq.
Sementara itu, Ketua LSM Koalisi Perempuan Ronggolawe (KPR) Tuban, Suwarti menyatakan, angka kekerasan seksual di wilayah Tuban dari tahun ke tahun bukannya menurun. Pada tahun 2020 lembaganya menangani 23 kasus KS, tahun 2021 sebanyak 26 kasus, pada 2022 sebanyak 41 kasus.
“Sedangkan dari awal Januari 2023 hingga bulan Mei di hari ini sudah ada 11 kasus KS,” kata Suwarti saat dikonfrontir secara terpisah.
Sedangkan data dari Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinsos PPA) Tuban yang dilansir sejumlah media online menyebut, sepanjang 2022 ada 56 kasus yang ditangani institusi ini. Jumlah angka kasus kekerasan anak ini meningkat dibanding 2020 yang tercatat 33 kasus, dan pada 2021 sebanyak 45 kasus.
Pada bagian lain, Nunuk Fauziah menyatakan, pihaknya berharap program Tuban Bangga (Tuban Mbangun Keluarga) yang diinisiasi Kantor Kemenag Tuban bisa berjalan dengan baik, sehingga bisa mengerem angka KDRT, pernikahan anak, tingginya permintaan Dispensasi Nikah (Diska), menurunkan angka perceraian, stunting, hingga angka KS.
“Konsep dari program ini mulia karena diharapkan Kota Tuban bisa berketahanan keluarga, dan layak anak,” ujar perempuan aktifis berbasis pesantren itu.
Program yang dilaunching oleh Bupati dan Wabup Tuban Aditya Halindra Faridzki dan H Riyadi ini, seharus memunculkan sistem alur pelaksanaan yang terukur. Seperti diantaranya terkait mekanisme pelaksaaanya, penganggaran, monitaring, evaluasi, dan pelaporan serta target sasaran.
Mekanisme ini harus diketahui publik sehingga masyarakat bisa terlibat dalam program. Baik itu sebagai penerima manfaat juga sebagai pengawas.
“Jika tidak, sepertinya program ini hanya untuk mengugurkan tugas dan wewenang institusi pelaksana dan belanja anggaran,” tegas Nunuk Fauziah.
Selain itu, melihat fenomena tingginya angka kekerasan terhadap anak di atas, Nunuk Fauziah menilai, status Tuban sebagai Kota Layak Anak (KLA) patut dievaluasi kembali terkait kesungguhan Pemkab Tuban dalam melaksanakan maupun merealisasika indikator KLA.
Sesuai Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Permen PPPA) nomor: 12 tahun 2011 tentang Indikator Kabupaten/Kota Layak Anak. Ada lima klaster hak anak yang meliputi: hak sipil dan kebebasan; lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif; kesehatan dasar dan kesejahteraan; pendidikan, pemanfaatan waktu luang, dan kegiatan budaya; dan perlindungan khusus.
Bagi Nunuk Fauziah, seharusya indikator tersebut semuanya direalisasikan oleh Pemkab Tuban. Dengan cara itu tidak mengesankan Pemkab sekadar mengejar, dan serius dalam mengisi format indikator hanya digunakan sebagai syarat memperoleh penghargaan KLA.
“Salah satu indikator KLA pada kluster lima tentang perlindungan khusus terhadap anak saja, belum ada mekanisme platform yang jelas,” papar wanita penyuka warna putih dan hitam.
Di lain sisi, tambah Nunuk Fauziah, disaat fakta memilukan meningkatnya angka kekerasan terhadap anak setiap tahun, sepertinya Pemkab belum mampu menjangkau layanan secara terpadu. Seperti diantaranya, pemberian layanan hukum, rumah aman, dan layanan kesehatan yang terjangkau. Termasuk tingginya angka Diska dari Bumi Ranggalawe yang berkutat di peringkat 10 se Jatim.
“Ini belum termasuk diberikannya hak-hak anak dalam klaster satu hingga empat yang disyaratkan Permen PPA tantang KLA,” pungkas Nunuk Fauziah. (tbu)