Suarabanyuurip.com – Arifin Jauhari
Bojonegoro – Bupati Bojonegoro, Jawa Timur, Anna Mu’awanah, secara lembaga disebut tidak bisa membuktikan tanah yang di atasnya saat ini berdiri Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Banjarsari adalah milik pemerintah kabupaten (Pemkab).
Pernyataan tersebut dilontarkan oleh Kuasa Hukum S. Marman, yakni Nur Aziz, S.H., S.IP., M.H. Pengacara asal Tuban itu ditunjuk oleh Sastro Marman atau S. Marman mewakili pihak Penggugat melawan Bupati Bojonegoro sebagai Tergugat I.
Sidang perdata dalam klasifikasi perbuatan melawan hukum (PMH) dalam perkara dugaan penyerobotan tanah milik S. Marman yang ditengarai dilakukan oleh Bupati Bojonegoro secara lembaga, telah sampai pada tahap penyampaian kesimpulan dari para pihak yang bersengketa. Sidang ini dilaksanakan secara E-Court.
“Kesimpulannya, berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, baik pihak Tergugat I Bupati Bojonegoro, maupun Tergugat II Kades Banjarsari, tidak ada bukti yang bisa membuktikan bahwa tanah obyek sengketa adalah dari tanah negara milik pemkab sejak 1970. Tidak ada bukti itu,” kata Nur Aziz kepada SuaraBanyuurip.com, Rabu (28/06/2023).
Sebaliknya, menurut pria yang menjabat Ketua Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) Tuban ini, dari bukti yang ditunjukkan Penggugat maupun Turut Tergugat sudah sangat jelas bahwa tanah obyek sengketa telah bersertifikat. Tanah itu adalah tanah hak milik seseorang, bukan tanah negara, dan bukan tanah milik pemkab.
Berkaitan dengan jual beli, pemkab juga tidak bisa membuktikan dalam persidangan, bahwa pada 1970 maupun 1980 ada pelepasan hak dari Salam Prawirosoedarmo ataupun Darus atau yang lainnya, dari tanah yang pernah digunakan motor cross itu dibeli oleh pemkab. Tidak ada bukti secara formil, dan tidak ada bukti tertulis.
“Ini bersesuaian dengan saksi yang diajukan Tergugat I maupun Tergugat II. Semua saksi yang mereka ajukan, tidak ada satupun saksi yang mengetahui secara langsung, secara jelas, bahwa tanah yang pernah dipakai motor cross telah dibeli oleh pemkab. Mereka hanya mendapat cerita dari orang lain,” ujar Nur Aziz.
Karena hanya mendengar cerita dari orang lain, lanjut Nur Aziz, kesaksian itu tergolong “Testimonium de Auditu” sehingga tidak memiliki nilai kekuatan pembuktian.
Berdasar bukti surat yang telah dia ajukan, dan bukti yang disampaikan Turut Tergugat, bagi Nur Aziz juga semakin memperjelas bahwa terdapat keterangan yang tidak benar. Yaitu surat keterangan yang sengaja dipalsukan seolah-olah tanah obyek sengketa telah dikuasai oleh pemkab sejak 1970. Keterangan itu telah dipatahkan oleh saksi Tergugat sendiri.
“Padahal senyatanya pemkab tidak pernah menguasai tanah itu. Dan tidak ada bukti yang menyatakan tanah itu punya pemkab. Baru terbit SHP tahun 2022, begitu pula RPH baru dibangun tahun 2022,” lanjutnya.
Dengan demikian, pria yang juga berprofesi sebagai Dosen Fakultas Hukum di Universitas Sunan Bonang Tuban ini menyatakan, bahwa sudah terang dan jelas, Penggugat sudah bisa membuktikan tanah obyek sengketa yang di atasnya dibangun RPH adalah tanah milik kliennya, S. Marman.
“Kepemilikan S. Marman berdasarkan surat jual beli tanggal 15 April 2011, tanah itu dibeli dari Darus. Sebaliknya, pemkab tidak punya bukti apapun. Jadi jelas, bahwa tanah milik S. Marman ini sengaja diserobot dengan menggunakan surat keterangan yang tidak benar,” tegasnya.
Terpisah, Kuasa Hukum Bupati Bojonegoro di pihak Tergugat I, Analis Hukum Ahli Muda Bagian Hukum Sekretariat Daerah, Abdul Azis, tidak memberikan komentar saat dikonfirmasi mengenai pernyataan Kuasa Hukum Penggugat.(fin)