Mengais Rupiah dari Produksi Bata Merah

KREATIF : Darwadi ketika beraktivitas membuat batu bata dengan peralatan sederhana yang terbuat dari kayu.

Meski butuh waktu yang cukup lama, bukan menjadi halangan bagi Darwadi dalam memproduksi bata merah sebagai ladang mangais rezeki untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari.

PAGI itu mulai beranjak siang, terik matahari pun kian terasa mengiris raga. Namun tak melunturkan semangat para perajin batu bata untuk beraktivitas. Panasnya terik matahari di musim kemarau ini justru sangat mendukung mereka untuk meningkatkan jumlah produksi.

Darwadi, perajin batu bata merah di Desa Sumodikaran, Kecamatan Dander, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, salah satunya. Tampak cekatan tangan pria santun itu mengaduk tanah liat dalam cetakkan berbahan kayu yang ia buat memproses bata merah.

Sembari mengaduk tanah liat, Darwadi mengaku, panasnya terik matahari sudah biasa dirasakan. Jadi tak menjadi halangan untuk terus beraktivitas membuat batu bata sebagai ladang mengais rupiah. Justru dengan cuaca panas semakin meningkatan produksi hingga 50 persen dibanding saat musim penghujan.

“Kalau musim hujan, biasanya hanya bisa cetak tiga sampai empat ribu biji batu bata. Tapi kalau musim kemarau seperti sekarang bisa cetak antara tujuh hingga delapan ribu biji,” katanya kepada SuaraBanyuurip.com, Sabtu (01/07/2023).

Selain meningkat secara kuantitas, proses pembuatan batu bata merah pada musim kemarau juga lebih meningkatkan kualitasnya secara maksimal. Begitupun waktu yang dibutuhkan untuk membuat material bangunan berbahan dasar tanah liat menjadi lebih cepat.

“Saat musim penghujan proses pengeringan batu bata ini lebih lama. Butuh waktu sampai satu bulan, terkadang juga lebih. Sebaliknya pada musim kemarau proses pengeringan lebih cepat hanya membutuhkan waktu satu minggu,” ujarnya.

Tak hanya itu, bahan baku pun diperoleh sangat mudah di musim kemarau. Karena tanah liat di sepanjang bantaran Sungai Bengawan Solo cukup tersedia.

“Berbeda ya ketika musim penghujan para perajin acap kali kesulitan mendapatkan bahan baku akibat luapan sungai,” tuturnya.

Bagi Darwadi, membuat batu bata saat kemarau juga lebih menguntungkan. Karena pesanan meningkat hingga dua kali lipat. Meski harga produknya lebih mahal saat musim penghujan, tetapi pesanan lebih sedikit.

Harga batu bata yang ia produksi dibandrol antara Rp500 hingga Rp600 per biji. Harga Rp600 ini menyasar masyarakat yang membeli secara eceran. Sedangkan untuk harga Rp500 sasarannya para pembeli dari galangan dan untuk dijual ulang. Pembeliannya pun biasanya dengan cara besar, bukan lagi eceran.

“Jadi, dengan peningkatan produksi ini, untuk harga Rp500.000 sampai Rp600.000 per seribu bata, Alhamdulillah, bisa untuk mencukupi kebutuhan dapur,” bebernya.(Arifin Jauhari)

»Follow Suarabanyuurip.com di
» Google News SUARA BANYUURIP
» dan Saluran WhatsApp Channel SuaraBanyuurip.com


Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *