Suarabanyuurip.com – Arifin Jauhari
Bojonegoro – Lawan Bupati Bojonegoro, Anna Mu’awanah secara lembaga dalam gugatan lahan Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Banjarsari, S. Marman melalui Kuasa Hukumnya menyebut Sertipikat Hak Pakai (SHP) atas nama Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bojonegoro, Jawa Timur, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Hal itu ialah salah satu permohonan dalam pokok perkara yang dinyatakan oleh Nur Azis, Kuasa Hukum Sastro Marman, warga Desa Banjarsari, Kecamatan Trucuk, di dalam memori banding. Pengajuan banding ini telah dilakukan pada Senin, 24 Juli 2023 melalui Pengadilan Negeri Bojonegoro.
Kepada Majelis Hakim Tingkat Banding yang memeriksa dan mengadili perkara yang dimohonkan banding itu, Nur Aziz dan rekan berharap mendapatkan putusan yang menyatakan menurut hukum SHP Nomor 00016 Luas 3.679 meter persegi tanggal 22 Agustus 2022, Surat Ukur Nomor 02997/Banjarsari /2022 tanggal 18 Agustus 2022 atas nama Pemkab Bojonegoro tidak mempunyai kekuatan hukum.
“Oleh sebab itu kami ajukan banding, karena dalam putusan kemarin pertimbangan Majelis Hakim belum masuk pokok perkara yang diperiksa,” kata Nur Aziz kepada SuaraBanyuurip.com, Rabu (26/07/2023).
Pengacara asal Tuban ini menjelaskan, Majelis Hakim memutus perkara berkaitan dengan eksepsi, bahwa S. Marman di pihak Penggugat tidak memiliki legal standing. Karena Sertipikat Hak Milik (SHM) obyek sengketa atas nama Salam Prawirosoedarmo Nomor 033 yang terbit tahun 1972. Sehingga menurut Majelis Hakim, yang menggugat itu seharusnya adalah ahli waris Salam Prawirosoedarmo.
“Karena yang diterima oleh Majelis Hakim itu adalah eksepsi Tergugat berkaitan dengan legal standing, sehingga pokok perkara belum diperiksa sama sekali dalam putusan itu. Maka menurut kami, Majelis Hakim tidak cermat dan salah dalam menerapkan hukum,” jelasnya.
Advokat yang juga Dosen Fakultas Hukum Universitas Sunan Bonang (USB) Tuban ini berpendapat, pertimbangan Majelis Hakim PN Bojonegoro yang mengadili perkara tidak tepat. Sebab sangat jelas Majelis Hakim tidak mempertimbangkan bukti P-6 berupa surat pernyataan jual beli dari Salam Prawirosoedarmo kepada Darus.
Dengan begitu, lanjut Nur Aziz, tanah obyek sengketa pernah dijual secara adat. Karena Transaksi jual beli secara adat ini menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) dibenarkan. Hal itu juga telah dia kutip dalam memori banding.
“Tetapi, bukti P-6 itu dikesampingkan. Tidak dipertimbangkan oleh Majelis Hakim. Kan aneh ini. Kalau tanah itu dinyatakan milik Salam Prawirosoedarmo, seharusnya gugatan kami ya dikabulkan. Sebab secara formil jual beli itu pernah ada. Walaupun belum dihadapan PPAT,” imbuhnya.
Selain itu, kata dia, dalam salinan putusan juga sangat jelas tidak dinyatakan bahwa tanah obyek sengketa itu punya pemkab. Sebaliknya justru tanah itu jelas dinyatakan milik Salam Prawirosoedarmo.
“Jadi jelas dan terang, SHP atas nama Pemkab Bojonegoro tidak mempunyai kekuatan hukum. Karena juga ada Yurispridensi MA menyatakan bahwa jika ada sertifikat ganda, maka yang dipakai adalah sertifikat yang lebih dulu terbit. Otomatis mestinya SHM yang terbit tahun 1972 atas nama Salam Prawirosedarmo,” tegasnya.
Terpisah, Humas Pengadilan Negeri (PN) Bojonegoro, Sonny Eko Andrianto, S.H. membenarkan, bahwa S. Marman telah mengajukan banding pada hari Senin 24 Juli 2023 melalui Kuasa Hukumnya atas nama Nur Aziz.
“Proses bandingnya secara E-Court. Berkasnya akan diperiksa oleh Pengadilan Tinggi,” bebernya.
Sementara itu, Kepala Bagian Hukum Pemkab Bojonegoro, Muslim Wahyudi tidak memberikan tanggapan saat dikonfrontir tentang perkara ini.(fin)