SuaraBanyuurip.com – Arifin Jauhari
Bojonegoro – Sebanyak 33 desa dari total 419 desa yang ada di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, tak pernah dapat Bantuan Khusus Keuangan Desa (BKKD) yang diprogramkan oleh Bupati Anna Mu’awanah.
Berkaitan hal tersebut, Kepala Desa (Kades) Kepohkidul, Kecamatan Kedungadem, Samudi menyebutkan, bahwa 33 desa yang tak pernah mendapatkan BKKD atau BKD selama rentang waktu tahun 2021 sampai dengan 2023 tersebar di 15 kecamatan. Salah satunya adalah desa yang dipimpinnya.
“Kebijakan BKD ini diskriminatif,” kata Samudi kepada SuaraBanyuurip.com, Selasa (05/09/2023).
BKKD adalah sumber masalah. Karena ia menilai program yang telah cacat sejak lahir. Baik dari segi perencanaan maupun regulasinya. Sehingga jika kemudian banyak persoalan muncul, bukan hal yang mengejutkan.
Sejauh ini, setelah terjadi bertahun-tahun, desa yang mendapat BKKD hanya desa itu-itu saja. Sebaliknya desa yang tidak pernah mendapatkannya juga tetap desa-desa yang sama.
Dengan begitu, pria yang mengidolakan tokoh wayang Wisanggeni ini mengaku, dapat menganalisis, program BKKD yang diluncurkan oleh perempuan kelahiran Tuban yang menjabat bupati di Bojonegoro sejak 2018 adalah program yang acak-acakan dan hanya berdasar suka tidak suka saja.
“Selain itu, sebetulnya, ya hanya kepentingan-kepentingan politik ini yang jalan (dalam BKKD),” ujar pria bercirikan kepala plontos.
Samudi juga menilai, besaran anggaran BKKD yang besar tidak berimbang dengan kemampuan sumber daya yang ada di desa. Keraguannya selama ini atas hal itu, mulai kemampuan soal lelang, teknis pengerjaan dan lain sebagainya terbukti dengan banyaknya dugaan kasus tindak pidana korupsi BKKD yang saat ini masuk persidangan.
Kalau hanya tingkat kepala dusun, apalagi cuma botoh kades, dia katakan tidak akan mampu mengelola dana BKKD sebesar Rp3 miliar misalnya. Musababnya, tidak ada standarisasi yang dijadikan dasar.
Contohnya, tentang panitia lelang yang biasanya memiliki legalitas. Tidak ada legalitas yang jelas dalam pelaksanaan BKKD. Mekanismenya bisa saja istri kades yang jadi tim pelaksana (Timlak). Sehingga disinyalir asal tunjuk saja.
“Makanya bagi saya untuk BKKD 2024, jika yang dapat tidak semua desa, lebih baik tidak usah. Mending bupati berikan kekurangan ADD yang belum terbayar, ini wajib soalnya,” tandas penggemar Iwan Fals ini.
Sementara itu, Wakil Ketua I DPRD Bojonegoro, Sukur Priyanto mengatakan, sebanyak 199 desa dari total 419 desa di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, masuk dalam rencana usulan untuk mendapat Bantuan Keuangan Khusus Desa (BKKD) pada tahun 2024. Nilainya kurang lebih Rp480 miliar.
Namun berdasarkan pengamatan dia, pemberian BKKD terkesan tidak mengedepankan unsur proporsionalitas dan keadilan. Sebab, selama ini ada desa yang sudah tiga tahun berturut-turut mendapatkan BKD. Sebaliknya demikian pula bagi desa yang tidak pernah mendapatkannya.
Oleh sebab itu demi mencegah terjadinya diskriminasi dan demi mewujudkan terpenuhinya keadilan pada seluruh desa yang ada di kabupaten penghasil minyak dan gas bumi (migas) ini, pihaknya sedang mendalami data yang diberikan oleh pihak eksekutif.
“Jadi kalau ditanya, kok pembahasan KUA PPAS APBD TA 2024 nggak selesai-selesai? Ya memang belum selesai, karena anggarannya sangat besar dan kita sedang dalami data eksekutif,” tegasnya.
Terpisah, saat disinggung perihal reviu KUA PPAS, Anggota Banggar DPRD Bojonegoro, Lasuri menjelaskan, sebelum menjadi KUA PPAS semua item usulan dan kebijakan itu berupa RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Daerah) dimana RKPD itu diajukan dulu ke pemerintah provinsi (pemprov).
Penjelasannya itu runtutannya sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 10 Tahun 2018 tentang Reviu. Dasar untuk menyusun KUA PPAS itu dari dokumen RKPD.
“Dan sebelum menjadi KUA PPAS harusnya sudah direviu oleh APIP kabupaten yaitu Inspektorat,” jelas Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu.
“Sekarang dalam proses reviu,” kata Inspektur Kabupaten Bojonegoro, Teguh Prihandono saat dikonfirmasi SuaraBanyuurip.com dalam wawancara cegat di gedung DPRD.
Namun, kata Teguh, namanya reviu tidak terlalu dalam. Karena bicara kebijakan dan relatif, di mana penentu KUA PPAS tetap pada kesepakatan antara legislatif dan eksekutif.
Sifat reviu dimaksud lebih pada proses bisnis yang dilalui apakah sudah dijalankan atau belum. Lalu penetapan kebijakan sudah sesuai atau tidak. Misalnya, cocok dengan hibah ataukah bansos.
“Hanya sejauh itu, dan yang terpenting di reviu proses berjalan sesuai aturan,” bebernya.(fin)