SuaraBanyuurip.com – Arifin Jauhari
Surabaya – Sidang dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor) Bantuan Keuangan Khusus Desa (BKKD) 8 desa di Kecamatan Padangan, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, berlanjut pada mendengarkan keterangan saksi ahli.
Dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri Tipikor Surabaya, Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Bojonegoro kali ini menghadirkan Ahli pengadaan Barang dan Jasa (B/J) di Desa, Achmad Karsono.
Pria yang bekerja pada salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu menerangkan bahwa Pengadaan B/J di Desa harus menerapkan prinsip-prinsip pengadaan B/J. Diataranya, efisien, efektif, transparan, terbuka, pemberdayaan masyarakat, gotong royong, bersaing adil, dan akuntabel.
“Jika hal-hal tersebut tidak dilaksanakan maka akan berpotensi melanggar ketentuan bahkan bisa jadi melanggar hukum,” terang Achmad Karsono.
Ahli juga menyampaikan bahwa pengadaan B/J di desa adalah tanggung jawab pihak desa diantaranya Kades selaku penanggung jawab Pengelolaan dan Pengadaan (Kuasa Anggaran), Kasi/Kaur, TPK( Timlak), Masyarakat, dan Penyedia.
“Jadi masing-masing memiliki tanggung jawab sendiri-sendiri,” tegasnya.
Adapun landasan hukumnya dia sebutkan adalah Pasal 1 ayat 1 Perpres no.12 tahun 2021 tentang perubahan atas Perpres no.16 tahun 2018 tentang pengadaan B/J Pemerintah, Peraturan Menteri Dalam Negeri no.20 tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa.
Kemudian Peraturan LKPP no.12 tahun 2019 tentang pedoman penyusunan tata cara pengadaan B/J di desa, dan khusus di Bojonegoro ada Peraturan Bupati No.11 tahun 2021 tentang pengadaan B/J di desa, serta petunjuk teknis (Juknis) kegiatan Bantuan Keuangan Khusus Desa yang bersumber dari APBD Kabupaten Bojonegoro yang diterbitkan Dinas PU Bina Marga dan Tata Tuang setempat.
Sedangkan ruang lingkupnya adalah dari APBDesa, Pengadaan B/J ada tujuan yang dicapai diantaranya adalah filter money, tepat biaya, tepat waktu, tepat kualitas, tepat harga, dan tepat delivery berdasarkan alokasinya, setiap 1 rupiah harus dipertanggungjawabkan penggunaanya.
Semua hal itu harus dituangkan dalam surat perjanjian kerja (SPK) karena disitu tertuang hak dan kewajiban antara pemberi kerja dengan penyedia kerja khusus untuk pengadaan B/J. Ihwal pengadaan B/J di desa dapat dilakukan dengan mekanisme pembelian langsung, permintaan penawaran, dan lelang.
Selanjutnya mengenai mekanismenya, jika nilai pengadaannya sampai Rp50 juta maka dilakukan dengan mekanisme pembelian langsung, untuk nilai Rp50-Rp200 juta dilakukan dengan permintaan penawaran, dan jika pengadaan bernilai diatas Rp200 juta maka melalui Lelang.
Apabila pengadaan B/J di desa yang nilainya diatas Rp200 juta, diawali dengan pengumuman lelang pendaftaran dan pengambilan dokumen lelang, pemasukan dokumen penawaran, evaluasi penawaran, negoisasi dan penetapan pemenang lelang dengan cara Timlak mengumumkan pengadaan dan meminta penyedia menyampaikan penawaran tertulis, dan diumumkan melalui media informasi yang mudah diakses masyarakat.
Sehingga tetap berpedoman pada etika pengadaan yaitu melaksanakan pekerjaan secara tertib dan tanggung jawab, kerja profesional mandiri, untuk mencapai sasaran pekerjaan dan merahasiakan informasi yang menurut sifatnya harus dirahasiakan untuk menghindari dan mencegah pemborosan keuangan negara, mencegah penyimpangan pengadaan dan seterusnya.
“Oleh sebab itu harus dilaksanakan melalui kontrak kerja, jika tidak ada kontrak kerja maka tidak sah,” tandas Ahli.
Saat Penasihat Hukum (PH) Terdakwa Bambang Soedjatmiko, menanyakan perihal siapa pihak penanggung jawab pengadaan B/J di desa termasuk lelang. Ahli menyatakan yang bertanggung jawab adalah TPK (Timlak). Seperti menyusun dokumen lelang, mengumumkan dan melaksanakan lelang, memilih dan menetapkan penyedia, memeriksa dan melaporkan hasil pengadaan kepada Kasi/Kaur Desa, dan mengumumkan hasil kegiatan dan pengadaan B/J, sehingga pengadaan adalah tanggung jawab dan ranah desa.
Kemudian, disinggung tentang siapa pihak yang bertanggung jawab membuat SPJ/LPJ, Ahli menjawab adalah desa (Timlak), sedangkan pihak yang bertanggung jawab mengelola dana BKK adalah Kades sesuai Pasal 1 angka 20 Perbup no.45 tahun 2021 tentang perubahan atas Peraturan Bupati Nomor 87 Tahun 2020 tentang Pedoman Pengelolaan Bantuan Keuangan Kepada Desa yang Bersifat Khusus dari APBD Bojonegoro.
“Bahwa terkait pengadaan B/J di 8 Desa yang bersumber dari BKKD, jika desa menunjuk langsung penyedia pekerjaan tanpa melalui Perbup dan juklak juknis yang ditentukan maka ahli nyatakan perbuatan tersebut tidak dibenarkan dan tanggung jawab mutlak Desa,” jelas Ahli.
Salah satu PH terdakwa Bambang Soedjatmiko, Pinto Utomo menyatakan, saksi ahli Achmad Karsono pada persidangan Senin (30/10/2023) kemarin adalah lanjutan dari pemeriksaan ahli pada persidangan Senin (23/10/2023) pekan laku yang menghadirkan Erwin Andriansyah.(fin)