SuaraBanyuurip.com – Joko Kuncoro
Bojonegoro – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur mendesak Pengadilan Negeri (PN) Bojonegoro membebaskan tiga terdakwa kasus tambang batu kapur. Melalui surat terbukanya, Walhi meminta PN Bojonegoro memahami konteks persoalan menggunakan Peraturan Mahkamah Agung (MA) Nomor 1 Tahun 2023 tentang perlindungan hukum pejuang lingkungan.
Direktur Walhi Jawa Timur, Wahyu Eka Setyawan mengatakan, pasal 162 undang-undang mineral dan batu bara kembali memakan korban di Jawa Timur. Sebelumnya tiga warga Desa Alasbuluh, Kecamatan Wongsorejo, Kabupaten Banyuwangi, kini tiga warga asal Desa Sumuragung, Kecamatan Baureno, Kabupaten Bojonegoro harus menghadapi situasi serupa.
“Baik di Banyuwangi maupun di Bojonegoro, sama-sama dikenakan pasal 162 terkait upaya menghalangi aktivitas pertambangan yang berizin,” katanya, Senin (6/11/2023).
Tiga warga Desa Alasbuluh yang bernama Ahmad Busiin, Sugiyanto, dan Abdullah, diseret ke persidangan karena dilaporkan oleh perusahaan bernama PT Rolas Nusantara (RNT). Ketiganya dilaporkan karena dianggap menghalangi lalu jalan hilir mudik truk-truk pengangkut hasil tambang.
Padahal, yang dilakukan oleh mereka adalah sebuah bentuk protes atau menyuarakan pendapat, sebagai akibat dari aktivitas pertambangan PT. RNT yang merusak jalan kampung hingga menyebabkan debu yang menganggu kehidupan warga.
Namun, aksi penyampaian pendapat mengenai dampak pertambangan bukannya mendapatkan respons positif seperti penegakkan hukum lingkungan, justru disambut oleh surat penetapan tersangka oleh kepolisian. Ketiganya kemudian divonis 3 bulan oleh hakim Pengadilan Negeri Banyuwangi. Laporan pihak PT. RNT diterima mentah-mentah tanpa ada pengkajian serta pendalaman proporsional mengenai kasus tersebut.
“Kejadian serupa kembali terjadi pada tiga warga Desa Sumuragung, Kecamatan Baureno, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur bernama Isbandi, Imron dan Parno. Mereka harus merasakan apa yang sebelumnya telah dialami oleh tiga warga Alasbuluh, Banyuwangi,” katanya.
Dia mengatakan, protes warga Bojonegoro mengenai dampak buruk pertambangan, seperti rusaknya jalan, paparan debu sampai tidak adanya tanggung jawab sosial perusahaan, disambut status terdakwa dari kepolisian sebagai tindak lanjut dari laporan perusahaan tambang bernama PT. Wira Bhumi Sejati (WBS).
Laporan yang dibuat oleh PT. WBS berangkat dari aksi protes ketiga warga tersebut dengan warga yang lainnya sebagai bentuk menyuarakan pendapat mengenai dampak pertambangan. Selama ini, mereka sudah menyampaikan dengan baik kepada pihak pemerintahan desa maupun kabupaten, tetapi tidak ada tindakan yang berarti.
Sehingga, kata dia, mereka melakukan aksi protes dengan menutup jalan menuju tambang dengan menyegelnya. Bukannya didengarkan dan diupayakan penyelesaian, PT. WBS melaporkan ketiga warga tersebut ke pihak kepolisian.
“Meski warganya menjadi terdakwa Pemerintah Kabupaten Bojonegoro, Pemerintah Provinsi Jawa Timur beserta dinas-dinasnya seperti Dinas ESDM dan Dinas Lingkungan Hidup hanya diam,” katanya.
Warga Bojonegoro Dijerat dengan Pasal 162 UU Minerba.
Apa yang dialami tiga warga Sumuragung adalah bentuk kriminalisasi, mengapa demikian? Karena pelaporan dilakukan oleh perusahaan sebagai bentuk respons dari aksi-aksi warga yang menuntut perusahaan bertanggung jawab atas dampak pertambangan. Ada sebuah upaya melalui legal untuk membungkam suara-suara mereka yang berusaha menyuarakan dampak pertambangan. Salah satu cirinya adalah menggunakan pasal 162 UU Minerba yang sangat karet, karena multitafsir.
Maka dengan adanya pelaporan yang berujung persidangan di Pengadilan Negeri Bojonegoro, merupakan sebuah upaya sistematis untuk menakut-nakuti, mengintimidasi serta membungkam suara-suara protes dampak pertambangan. Akibatnya upaya untuk meminta pertanggungjawaban perusahaan atas akitivitas merusaknya terpaksa terhenti. Tidak hanya menghentikan sementara tetapi juga berupaya menciptakan efek takut yang tujuannya adalah membungkam suara-suara protes.
“Pada kasus ini, kami meminta dengan hormat PN Bojonegoro untuk memahami konteks persoalan serta menggunakan Perma Nomor 1 Tahun 2023 yang baru dikeluarkan oleh MA merujuk pada pasal 48 mengenai perlindungan hukum bagi pejuang hak atas lingkungan beserta kriterianya yang sejalan dengan pasal 66 UU PPLH Tahun 2009,” katanya.
Dia mengatakan, pada UU tersebut hakim dituntut untuk melihat konteks masalah dan mengutamakan aspek penegakkan hukum lingkungan. Dimana setiap orang yang menyuarakan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dipidanakan.
Sehingga aksi protes yang dilakukan oleh warga Desa Sumuragung sudah nampak jelas, bahwa mereka sedang menyuarakan keberatan atas aktivitas pertambangan secara lisan yang membawa dampak buruk pada kehidupan warga serta kualitas lingkungan hidup.
Hal tersebut dimuat jelas dan tegas dalam Pasal 78 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup yang menjelaskan bahwa bentuk perjuangan hak atau peran serta masyarakat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat meliputi penyampaian usulan atau keberatan baik secara lisan ataupun tulisan baik didepan umum atau aksi unjuk rasa. Oleh karena itu ketiga warga tersebut harus bebas demi hukum dan demi keadilan.
Dia menambahkan aksi protes ketiga warga Desa Sumuragung adalah bentuk menyuarakan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Sebab dilandasi niat baik dan melindungi kepentingan masyarakat luas dari dampak pertambangan yang dilakukan oleh PT. WBS yang seharusnya direspons oleh pemerintah.
Misalnya, Kementerian ESDM, Pemerintah Provinsi Jawa Timur, Dinas ESDM Jawa Timur, Dinas Lingkungan Hidup Jawa Timur sekaligus Pemerintah Kabupaten Bojonegoro untuk melakukan penegakkan hukum lingkungan serta evaluasi atas aktivitas pertambangan sebagai bagian dari penerapan prinsip perlindungan lingkungan hidup, sekaligus warga yang merasakan dampak.(jk)