SuaraBanyuurip.com – Arifin Jauhari
Bojonegoro – Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Republik Indonesia (DPR RI) Komisi III, Didik Mukrianto, mensinyalir ada potensi upaya politisasi Bantuan Keuangan Desa (BKD) yang dilakukan oleh Kepala Daerah di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur.
“Disinyalir ada potensi upaya politisasi oleh kepala daerah, sederhana saya ingin menyatakan begitu, itu terjadi di Dapil (Daerah Pemilihan) saya (Bojonegoro),” kata Didik Mukrianto kepada Suarabanyuurip.com, Jumat (17/11/2023).
Ketua Karang Taruna Nasional ini mengemukakan pernyataan tersebut di hadapan Jaksa Agung RI saat rapat di gedung dewan, Kamis (16/11/2023).
Didik menguraikan, salah satu yang terjadi di desa. Yakni mengenai bantuan Keuangan Desa (BKD) yang didapat selain Dana Desa (DD). Jika DD yang diperoleh dari pusat jumlahnya antara Rp1 miliar sampai dengan Rp1,5 miliar, maka kepala daerahnya menambahnya dengan dana BKD dari keuangan daerah sebesar Rp1,5 miliar hingga Rp3 miliar setiap tahunnya.
“Berarti satu desa bisa mengelola keuangan antara Rp4 miliar sampai Rp5 miliar,” ujarnya.
Berkaitan hal itu, ada persoalan yang dia pertanyakan, pertama apakah realisasi DD plus BKD itu betul dipergunakan untuk kebutuhan desa. Sebab jangan sampai terjadi kemudian double accounting di dalam pertanggungjawabannya. Artinya proyeknya cuma satu tetapi paper pertanggungjawabannya ada dua.
“Ini kan kasihan rakyatnya,” tegasnya.
Lalu hal kedua yang dipertanyakan oleh anggota Fraksi Partai Demokrat ini adalah mengenai akuntabilitas transparansi anggaran daerah. Banyak terjadi, dalam konteks satu desa bersebelahan dengan desa dalam kecamatan yang sama, cara penganggarannya berbeda.
“Jadi sangat subyektif, tidak ada aturan, tidak ada kebijakan, tidak ada Perbup, tidak ada KPI (Key Performance Indikator)-nya, hanya didasarkan pada selera yang subyektif,” bebernya.
Dijelaskan, pada suatu desa yang berhimpitan hampir sama, infrastrukturnya sama, besar desanya pun sama, tetapi mengalami perlakuan yang berbeda. Satu desa diberi BKD Rp3 miliar, sementara desa sebelahnya bahkan tidak diberikan apa-apa.
Pola tersebut dinilai merugikan semua pihak. Didik berani memastikan, ibarat pepatah “ada udang di balik batu”. Sebab pastinya seorang kepala desa yang dianggap tidak bisa dikendalikan oleh kepala daerah, terbukti tidak mendapatkan apa-apa.
“Ini jelas kebijakan yang salah (dari) seorang kepala daerah, karena anggarannya bukan anggaran pribadi tapi anggaran rakyat, maka transparansi menjadi pertanyaan, apakah kemudian kita, Jaksa-Jaksa juga diam melihat itu,” tandasnya.
Didik juga mengutarakan, jangan sampai rakyat kemudian berpikir, karena Jaksa ini dapat hibah dari kepala daerah akhirnya Kejari-nya menjadi tumpul. Meski dia tidak berharap demikian, sehingga meminta agar kalau ada kesalahan jajarannya diingatkan.
“Ini di Dapil saya mohon di atensi Pak, bahkan terakhir beredar kabar, kepala desa yang mau terima BKD disuruh bikin pernyataan sekian suara untuk calon ini calon itu, nyata itu,” ungkapnya.
Kendati, Didik merasa tidak yakin apakah para kepala desa mau melakukan kegiatan sebagaimana pernyataan dimaksud. Namun begitu, hal ini menjadi potret yang sangat buruk terhadap demokrasi dan perkembangannya.
“Selain itu jangan pula sampai menjadi konflik berikutnya yang mengurangi kualitas demokrasi,” ucapnya.(fin)