SuaraBanyuurip.com – d suko nugroho
Jakarta – Pertamina EP Cepu bersama SKK Migas akan menindaklanjuti hasil pemeriksaan dan melaksanakan rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas temuan sejumlah permasalahan pada proyek pengembangan lapangan unitisasi Gas Jambaran – Tiung Biru (J-TB).
Senior Manager Relations PEPC, Fitri Erika menyampaikan, PEPC terus melakukan koordinasi erat dengan SKK Migas selaku regulator di industri hulu migas, termasuk mengenai hasil pemeriksaan BPK, dimana hasil pekerjaan proyek Engineering, Procurement, Construction, and Commissioning (EPCC) Gas Processing Facility (GPF) yang dilaksanakan oleh kontraktor belum sepenuhnya sesuai dengan lingkup pekerjaan pada kontrak dan perubahannya.
Erika menambahkan, PT Pertamina EP Cepu (PEPC) Zona 12, Regional Indonesia Timur, Subholding Upstream Pertamina sebagai operator lapangan gas Jambaran Tiung Biru (JTB) terus mengupayakan agar produksi gas bisa optimal sesuai dengan target yang telah ditetapkan.
“Proyek JTB merupakan salah satu dari sekian banyak proyek migas di Indonesia yang merupakan bagian dari upaya pemerintah mewujudkan target 1 juta BOPD dan 12 juta BSCFD pada tahun 2030. Kami tentu mendukung upaya ini dengan berusaha keras agar JTB bisa segera onstream dengan produksi sebesar 192 MMSCFD. Untuk itu perlu dukungan banyak pihak agar upaya ini bisa terwujud,” jelas Erika dalam siaran persnya yang diterima suarabanyuurip.com, Rabu (7/12/2023).
Sebagai informasi, PEPC merupakan partner aktif di Blok Cepu bersama ExxonMobil Cepu Ltd (ECML), Ampolex Pte Ltd dan Badan Usaha Milik Daerah, dalam melakukan percepatan produksi migas melalui pendekatan Early Production Facility (EPF) di lapangan Banyu Urip pada tahun 2009.
Pada tahun 2012 PEPC ditunjuk sebagai Operator Lapangan Unitisasi Jambaran dan Tiung Biru atas kesepakatan Kontraktor Kontrak Kerja Sama Wilayah Kerja (KKKS WK) Blok PT Pertamina EP (PEP) dan KKKS WK Blok Cepu dengan penandatanganan Penandatanganan Unitization Agreement (UA) / Unitization Operation Agreement (UOA) Proyek Gas Lapangan Unitisasi Jambaran–Tiung Biru (JTB).
BPK sebelumnya mengungkap temuan yang memuat beberapa permasalahan atas proyek pengembangan lapangan gas unitisasi JTB tahun 2017 hingga semester I 2022 pada SKK Migas, PT Pertamina EP Cepu (PT PEPC), dan instansi terkait di DKI Jakarta dan Jawa Timur. Temuan tersebut dituangkan dalam dokumen Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2023.
Ada empat temuan yang memuat tujuh permasalahan dalam proyek pengembangan lapangan gas Unitisasi Jambaran – Tiung Biru.
Yaitu hasil pekerjaan proyek Engineering, Procurement, Construction, and Commissioning (EPCC) Gas Processing Facility (GPF) yang dilaksanakan oleh Konsorsium Rekind, JGC dan JGC Indonesia (RJJ) belum sepenuhnya sesuai dengan lingkup pekerjaan pada kontrak dan perubahannya.
Seperti terdapat pengurangan lingkup pekerjaan dan deviasi spesifikasi teknis hasil pekerjaan yang belum ditetapkan sebagai contract change order (CCO) pengurang nilai kontrak EPCC GPF sebesar USD 6,99 juta.
Kemudian, volume item pekerjaan terpasang yang kurang dari dokumen pendukung pembayaran sebesar USD 2,53 juta.
Selain itu, terdapat keterlambatan atas pelaksanaan pekerjaan EPCC GPF. Hal ini mengakibatkan kelebihan pembebanan biaya operasi atas hasil pekerjaan EPCC GPF yang tidak sesuai lingkup pekerjaan minimal sebesar USD 9,52 juta, denda keterlambatan berpotensi tidak menambah bagi hasil bagian negara sebesar USD 82,79 juta, serta negara kehilangan potensi pendapatan dari gas yang tidak dapat dijual untuk periode 20 September sampai 18 November 2022 karena belum selesainya seluruh GPF minimal sebesar USD 5,84 juta,” sebut BPK.
“Permasalahan tersebut meliputi 1 kelemahan sistim pengendalian internal atau SPI dan 6 ketidakpatuhan sebesar Rp 40,65 miliar dan USD 103,37 juta atau total ekuivalen Rp 1,59 triliun,” kata BPK dalam dokumen IHPS I Tahun 2023 yang diakses suarabanyuurip.com, Selasa (6/12/2023).
Atas temuan permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan Kepala SKK Migas agar memerintahkan Kepala Unit Percepatan Proyek (UPP) JTB SKK Migas berkoordinasi dengan Direktur Utama PT PEPC untuk menetapkan CCO EPCC GPF minimal sebesar USD 6,99 juta dan memperhitungkannya sebagai pengurang nilai amandemen kontrak.
Kemudian, mengenakan denda keterlambatan kepada Konsorsium RJJ sebesar USD 82,79 juta, dan segera menyelesaikan pekerjaan EPCC GPF.
Serta memerintahkan Kepala Divisi Pemeriksaan Perhitungan Bagian Negara SKK Migas untuk tidak memperhitungkan biaya item pekerjaan yang kurang terpasang dalam close out Authorization for Expenditure (AFE) GPF minimal sebesar USD 2,53 juta.
“Dan memperhitungkan denda keterlambatan sebagai pengurang nilai proyek pada proses close out AFE GPF,” kata BPK.(suko)