Suarabanyuurip.com – Arifin Jauhari
Bojonegoro – Kuasa Hukum Anna Mu’awanah, mantan Bupati Bojonegoro, Jawa Timur, Mochammad Mansur menyatakan bahwa pihaknya tidak mengajukan permohonan perubahan nama Anna Mu’awanah.
Pernyataan itu mengemuka setelah sidang dinyatakan selesai karena adanya pencabutan permohonan penetapan nama berbeda untuk satu orang yang sama dengan alasan perbaikan permohonan.
“Perlu diketahui saya tidak mengajukan permohonan penetapan perubahan nama Bu Anna, tapi saya mengajukan penetapan satu orang yang sama dengan nama berbeda,” kata Mochammad Mansur dihubungi SuaraBanyuurip.com, Sabtu (20/01/2024).
Melalui Kuasa Hukumnya, Politikus PKB yang pernah menjabat Bupati Bojonegoro periode 2018 – 2023 itu sebelumnya mengajukan permohonan agar pengadilan menetapkan satu orang yang sama dengan nama berbeda.
Dua nama yang diajukan untuk penetapan adalah Muk’awanah, tercatat dalam ijazah resmi tingkat SDN Laju Lor 1, Kecamatan Singgahan, Kabupaten Tuban, MTsN Tuban, Kabupaten Tuban, dan MAN Peterongan Rejoso, Kabupaten Jombang.
Serta nama Anna Mu’awanah, yang tercantum resmi pada Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), Kutipan Akte Kelahiran, Duplikat Akta Nikah, ijazah Sarjana Strata 1, Sarjana S2, dan Pascasarjana S3.
Pria yang menjabat Ketua Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Bojonegoro ini menyebutkan, bahwa permohonan seperti yang diajukan oleh kliennya itu sudah ada yang dikabulkan oleh pengadilan hingga ribuan perkara.
“Dan itu sudah menjadi semacam Yurisprudensi yang telah banyak diikuti hakim-hakim yang menyidangkan permohonan penetapan satu orang yang sama dengan nama berbeda,” ujarnya.
Sebab, meski sistem hukum Indonesia tidak menganut doktrin preseden atau stare decisis, faktanya putusan hakim tidak (melulu) hanya mengacu undang-undang. Yurisprudensi adalah salah satu acuan putusan.
Mansur menjelaskan, ada tiga acuan hakim dalam memutus perkara yang berkaitan dengan putusan terdahulu. Tiga acuan itu tidak kalah penting selain undang-undang sebagai hukum positif yang menjadi dasar hakim mengadili dan memutus perkara.
Tiga sumber acuan dalam putusan hakim selain undang-undang, pertama adalah Yurisprudensi. Ini karena putusan pengadilan yang diikuti ada kesamaan terhadap perkara yang akan diputus.
Yurisprudensi tidak selalu terbentuk dari putusan-putusan Mahkamah Agung, tetapi Yurisprudensi bisa lahir dari putusan pengadilan tingkat pertama atau tingkat banding.
Kemudian acuan ke dua ialah, Landmark Decision (hasil pilihan Mahkamah Agung dari putusan yang menarik perhatian). Dan rumusan hasil rapat pleno Kamar Mahkamah Agung.
Baik yurisprudensi, landmark decision berdasarkan praktik alami peradilan, dan rumusan hasil rapat pleno kamar Mahkamah Agung ditetapkan otoritas para hakim dalam bentuk Surat Edaran Mahkamah Agung atau SEMA.
“Ketiganya bersumber dari putusan-putusan terdahulu yang disepakati substansinya oleh hakim,” tuturnya.
Berkaitan dengan permohonan penetapan satu orang yang sama dengan nama yang berbeda telah banyak putusan-putusan terdahulu yang dibuat acuan oleh hakim-hakim berikutnya dalam membuat putusan/penetapan dan telah ribuan permohonan penetapan satu orang yang sama dengan nama yang berbeda telah dikabulkan permohonannya oleh pengadilan.
Dari beberapa putusan pengadilan terdahulu yang memutus permohonan penetapan satu orang yang sama dengan nama yang berbeda, justru hakim dalam membuat penetapan tidak mendasarkan pada Pasal 52 Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Namun hakim mengacu pada ketentuan dalam penjelasan Pasal 56 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang menyatakan yang dimaksud dengan peristiwa penting lainnya adalah peristiwa yang ditetapkan oleh pengadilan negeri untuk dicatatkan pada instansi pelaksana. antara lain.
Dari redaksi kalimat tersebut, pengacara kawakan ini berpendapat secara gramatikal dapat dipahami bahwa penggunaan kata antara lain berarti masih membuka kemungkinan bagi pengadilan untuk memeriksa perkara permohonan lain selain daripada hal-hal yang disebutkan dalam peraturan tersebut.
“Seperti halnya dalam permohonan penetapan satu orang yang sama dengan nama berbeda,” tegasnya.(fin)