‘Klunting’, Sesat Pikir Tata Kelola APBD

Gus Ris.
Agus Susanto Rismanto.

Oleh : Agus Susanto Rismanto, SH

Perdebatan eksekutif dan legislatif di periode transisi industri migas Bojonegoro tahun 2011-2013, memberikan kesepahaman dan kebijakan baru tentang arah bagaimana mengelola APBD Bojonegoro pada saat eksploitasi Migas di Kabupaten Bojonegoro dimasa transisi dan pengelolaan APBD untuk 25 sampai dengan 50 tahun kedepan. Dengan besaran APBD pada tahun 2013 Rp. 2, 3 triliun, maka menjadi mimpi besar jika kedepannya APBD Bojonegoro bisa mencapai Rp 4 triliun atau bahkan Rp 10 triliun.

Perdebatan dimulai dari bagaimana Kabupaten Bojonegoro harus menghindari kutukan migas, dimana eksploitasi industri migas di Bojonegoro akan habis 25 tahun setelahnya. Artinya ketersediaan Sumber Daya Alam (SDA) bersifat terbatas, dan hasil dari industri migas akan berkurang dan habis. Banyak daerah yang tata kelola pertambangannya buruk, akan kembali miskin pasca industri migas dan tambang, sebagai contoh Provinsi Aceh, yang dulu memiliki lapangan migas Arun Aceh, terkini menjadi salah satu provinsi berkategori miskin.

Dilain sisi Pemerintah Kabupaten Bojonegoro harus memaksimalkan instrumen APBD untuk menggenjot pertumbuhan dan mengurangi angka kemiskinan. Yang dari dulu hingga di tahun 2024 ini selalu mengalami kendala pada penyerapan dan realisasi APBD. Serapan APBD Bojonegoro mulai tahun 2010 sampai dengan 2024 ini rata- rata maksimal hanya 80%, meskipun jumlah besaran APBD mengalami kenaikan di era industri migas.

Kecakapan dan regulasi, menjadi kendala realisasi APBD tidak maksimal, meskipun dalam pembahasan di Badan Anggaran rerata Organisasi Perangkat Daerah meminta plot anggaran maksimal, tapi realisasinya minimalis. Artinya selalu ada banyak anggaran yang terbengkalai menjadi sisa lebih pembiayaan anggaran (SiLPA).

Atas trend besaran SILPA yang terus merangkak naik setiap tahunnya, potensi uang APBD banyak yang terbengkalai dan tak bermanfaat. Sehingga munculah ide, agar dana APBD yang berasal dari sebagian Dana Bagi Hasil Migas disimpan dalam bentuk Dana Abadi, yang tujuannya sebagai dana cadangan dimasa mendatang. Agar anak cucu kita, tetap bisa menikmati, bahwa Bojonegoro pernah kaya-raya akan minyak. Selain itu APBD Bojonegoro tetap memliki cadangan finasial dalam mempertahankan tata kelola keuangannya.

Ketakutan pemangku kepentingan dimasa transisi saat itu adalah pada System Tata Kelola Keuangan APBD. Dimana ada potensi pemerintahan setelahnya akan menghambur-hamburkan Dana Bagi Hasil MIgas atas nama Pembangunan dan kesejahteraan, tanpa memikirkan bagaimana kondisi Bojonegoro pada akhirnya tanpa pasokan Dana Bagi Hasil MIgas.

Sehingga atas kekawatiran itu dimunculkan beberapa kebijakan, agar menjadi pondasi dalam tata kelola keuangan, pertama transfer skill /ketrampilan wilayah terdampak industri migas dari skill pertanian ke skill yang berkaitan dengan industri migas yaitu penyediaan barang dan jasa, maintenance, pelatihan dan penyediaan lapangan pekerjaan yang semua terkover dalam Perda 23/2011 tentang Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Daerah dalam Pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi Serta Pengolahan Minyak dan Gas Bumi atau biasa disebut “PERDA KONTEN LOKAL”. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi gejolak social saat masa konstruksi selesai, akibat masyarakat lokal tidak memilik skill dan lapangan pekerjaan lagi.

Kedua memberikan stimulus kepada UMKM dan kelompok masyarakat serta Bank Daerah agar menumbuhkan kemandirian usaha yang berpotensi meninkatkan income perkapita dan menambah Pendapatan Asli Daerah. Ketiga, memberikan stimulus keuangan kepada siswa Sekolah Menengah Atas agar pendidikannya tidak berhenti pada SLTP, namun bisa melanjutkan ke Pendidikan Tinggi, serta mengalokasian DBH Migas Pendidikan untuk urusan sarana prasarana pendidikan di Bojonegoro. Keempat, merestrukturisasi seluruh layananan kesehatan, dengan meningkatkan fasiltas RSUD -RSUD yang sudah ada, dan meningkatakan fasilitas seluruh Puskesmas di kecamatan agar dapat menerima pasien rawat inap.

Kebijakan bantuan keuangan dan sosial diperketat dengan hanya memprioritaskan bantuan keuangan/sosial yang sifatnya public (seperti jalan lingkungan, fasiltas pendidikan, kesehatan. Memperketat bantuan sosial yang bersifat communal (bantuan keagamaan, LSM, Partai Politik, Ormas) dan melarang bantuan sosial yang bersifat konsumtif.
Pengetatan bantuan keuangan/sosial selain mematuhi peraturan-perundangan, juga untuk mengubah mindset penyelenggara negara memanfaatkan uang negara untuk kepentingan politik dan kelompok, juga menginisiasi masyarakat untuk bermental mandiri dan inovatif, bukan sebaliknya memiskinkan pola pikir masyarakat. Bantuan sosial yang diberikan bertujuan untuk lebih fokus penajaman dan penguatan kreativitas, inovasi, pemberian sarana dan prasarana untuk perkembangnya ekonomi mandiri.

Kebijakan skala prioritas APBD yang demikian bertujuan memberikan pesan ke pemerintahan selanjutnya agar bijak dalam mengelola APBD dengan tetap memperhatikan masa depan anak-anak cucu kita. Jangan sampai anak cucu kita mendengar dongeng, Bojonegoro pernah kaya minyak tapi sudah kembali misikin pada era mereka.

Sesat Pikir

Jika hari ini ada beberapa kelompok menggiring opini pengelolaan APBD Bojonegoro akan diperuntukkan sebagai bantuan langsung tunai “Bojonegoro Klunting” kepada setiap warga yang ber KTP Bojonegoro, adalah ide yang menakutkan juga menggelikan. Menakutkan, karena dengan hitungan kemampuan fiskal dan target yang akan dicapai maka, hanya dalam waktu 5 bulan APBD Bojonegoro akan BANGKRUT.

Program ini mungkin dimaksudkan untuk mengangkat kesejahteraan masyarakat secara instan. Tetapi marilah kita hitung dengan rasional kemampuan APBD kita hari ini. Untuk tidak dikatakan miskin menurut BPS, maka setiap orang harus belanja kebutuhannya minimal Rp 20 ribu per hari, artinya ekuivalen Rp. 600 ribu/bulan. Standar belanja diatas garis miskin ini perlu di standarisasi, karena tujuan awalnya memberikan dampak sejahtera, yaitu keluar dari garis miskin. Jika nominal dibawah garis miskin (dibawah Rp 20 ribu/hari) maka tujuan tidak akan tercapai secara hitungan program.

Jumlah penduduk Bojonegoro ditahun 2024 ini 1, 365 100 jiwa, maka setiap bulan program “klunting” harus menyerap uang APBD sebesar Rp 819 miliar/ bulan sehingga setahun Rp. 9,828 trilun. Sementara tahun 2024 ini kekuatan APBD kita Rp. 8,2 Triliun.

Jika Program Klunting terealisai maka Pemerintah Kabupaten Bojonegoro tidak bisa membayar gaji Pegawai Negeri Sipil, gaji PPPK, gaji Honorer, gaji tenaga medis, gaji Anggota DPRD, tunjangan Kepala Desa, Perangkat Desa dan RT/RW, tunjangan marbot insentif Modin Wanita dan lainnya, yang semua belanja gaji tunjangan dan isnnetif ini sudah mencapai Rp, 1,8 Triliun ditahun 2024.

Selain itu Pemkab tidak bisa akan membayar layanan bantuan Kesehatan (KIS) tidak bisa membangun satu meterpun jalan, tidak ada lagi beasiswa bisa dibayar, lampu penerangan jalan akan mati karena tidak terbayar. Sehinga tidak ada lagi layanan masyarakat yang bisa dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Bojonegoro, lumpuh dan masih punya hutang Rp. 1,6 Triliun di akhir tahun 2025.

Menggelikan, karena dengan memperhatikan segala peraturan perundangan tentang penyusunan APBD, dan pengawasan otoritas penyusunan APBD yang lebih tinggi yaitu Pemerintah Propinsi, Kementerian Dalam Negeri, Presiden (Peraturan Pmerintah) dan Badan Pengawas Keuangan Negara (BPK) tidak akan pernah mengesahkan APBD Bojonegoro, meskipun Bupati dan DPRD-nya mengesahkan karena alasan politik misalkan. Dan pelanggaran atas diabaikanya peraturan perundangan maka akan memiliki konsekwensi hukum tata usaha negara maupun pidana.

Proprosional

Tata Kelola APBD sudah dilindungi oleh serangkain peraturan perundangan beserta seperangkat institusi pengawas dan pengaman agar pengelolaan APBD tidak maladministrasi yang berujung pada korupsi atau hanya mementingkan kelompok tertentu. Tindak pidana korupsi dimulai dari kesengajaan penerabasan aturan administrasi, dengan tujuan tertentu untuk kepentingan tertentu pula. Bukan murni untuk kepentingan masyarakat ataupun kepentingan negara. Tetap proporsional dan rasional, karena cara berpikir dan prilaku pengambil kebijakan akan menjadi jejak yang tetap tercatat untu anak cucu kita.

Pilihan mengelola Dana Bagi Hasil Migas secara bijak dengan tetap berpegang pada filosofi APBD sebagai stimulus dan katalisator pembanganan dalam jangka pendek, menengah dan jangka panjang ? Atau APBD dipergunakan sebagai lahan foya-foya, dan setelah itu jatuh miskin dan default (bangkrut) berjamaah dalam waktu singkat adalah pilihan. Tetap jernih berpikir dan menjaga kewarasan.

Penulis adalah Anggota Badan Anggaran DPRD Bojonegoro 2004 – 2009, dan 2009 -2014, Ketua Komisi A DPRD Bojonegoro, 2004 – 2009, dan 2009 -2014.

»Follow Suarabanyuurip.com di
» Google News SUARA BANYUURIP
» dan Saluran WhatsApp Channel SuaraBanyuurip.com


Pos terkait