Miris, Pertumbuhan Ekonomi Minus di Era APBD Tinggi

Gus Ris.
Agus Susanto Rismanto.

Oleh : Agus Susanto Rismanto, S.H 

Kabupaten Bojonegoro telah usai memilih Bupati – Wakil Bupati periode 2025 – 2030. Euforia kemenangan Bupati – Wakil Bupati terpilih mungkin harus segera berakhir pasca dilantik. Bagaimana tidak ?

Banyak pekerjaan rumah yang harus segera di tangani. Dari urusan kemiskinan saat APBD Bojonegoro dibawah 1 Triliun, hingga APBD  8,2 Triliun belum juga terselesaikan. Pemerataan pembangunan wilayah Bojonegoro timur dan wilayah barat –  selatan Bojonegoro yang belum seimbang. Belum lagi  SILPA, dan urusan pertumbuhan ekonomi yang justru jauh dari harapan. Pekerjaan rumah ini menjadi extraordinary, bahkan saat APBD Bojonegoro tinggi dalam 5 tahun terakhir. Dan ini tantangan Bupati terpilih dan DPRD Bojonegoro untuk  segera bekerja lebih keras.

Bupati yang baru harus mencermati ratio kesejahteraan dan kegiatan ekonomi  di Bojonegoro, dengan melihat indeks pertumbahan ekonominya. Pertumbuhan ekonomi sangat dipengaruhi oleh PDB (Pendapatan Domestik Bruto) yang mengukur akttivitas ekonomi seluruh komponen / unit usaha diwilayah tersebut dengan nilai tambahnya. Selain PDB, pertumbuhan ekonomi diengaruhi oleh sumber daya manusia dan sumber daya alam, dan kebijakan / situasi politik wilayah/daerah tersebut.

Sejak tahun 2020 sampai dengan 2022 laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bojonegoro mengalami stagnasi dan turun dibawah nol atau mengalami perlambatan tajam. Badan Pusat Satastik menyebut, laju pertumbuhan ekonomi Bojonegoro hanya di sokong oleh konsumsi rumah tangga dan effek ekspor dari industry migas. Sedangakan peran pemerintah sangat minim.

“Kontribusi komponen konsumsi pemerintah (PK-P) berada pada rentang 2 s.d 3,5 persen. Hal tersebut menunjukkan peran pemerintah dalam dalam mendorong perekonomian relatif kurang signifikan. Di sisi lain, pada tahun 2019 – 2023 perdagangan dengan luar wilayah yang direpresentasi oleh komponen ekspor dan impor, menunjukkan komponen ekspor cenderung lebih tinggi dari impor. Kecenderungan seperti ini menunjukkan bahwa arus barang dan jasa di Kabupaten Bojonegoro dalam posisi surplus dimana ekspor hasil minyak dan gas bumi merupakan penyumbang terbesar dari ekspor Kabupaten Bojonegoro.” Terang BPS

Realitas dilapangan sektor-sektor diluar konsumsi rumah tangga dan migas nyaris mengalami stag bahkan turun, hal ini bisa dilihat disektor UMKM, industry rumahan, rumah makan banyak yang mengalami kemunduran sejak 2020 sampai dengan saat ini. Hal ini berbeda dengan Kabupaten Tuban dan Kabupaten Lamongan yang berkembang variative di berbagai sektor non migas, yang mendorong indek pertumbuhan ekonomi dua kabupaten jiran Bojonegoro.

Tabel : Postur  APBD Kabupaten Bojonegoro, Tuban dan Lamongan

 

2019

2020

2021

2022

2023

Bojonegoro

5,11 T

5,75 T

6,21 T

6,49 T

8,07 T

Tuban

2,480 T

2,6 T

2,8 T

2,65 T

2,88T

Lamongan

2,939 T

3,07

2,93 T

2,97 T

3,23 T

Meskipun APBD Kabupaten Bojonegoro jauh lebih tinggi (tabel diatas), Pertumbuhan ekonomi Bojonegoro kalah jika diperbandingan dengan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Tuban, Lamongan, Propinsi Jawa Timur dan Pertumbuhan Ekonomi Nasional.

Tabel : Laju Pertumbuhan Kabupaten Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Propinsi Jawa Timur dan Nasional Tahun 2019 ,2020, 2021,2022, 2023

Tahun

2019

2020

2021

2022

2023

Bojonegoro

6,34

-0,40

-5,54

-6,16

2,47

Tuban

1,77

1,85

2,68

4,7

4.32

Lamongan

5,43

-2,65

2,68

5,56

4,28

Jawa Timur

5,53

-2,33

3,56

5,34

4,95

Nasional

5,02

2,07

3,07

5,31

5,04

Pertumbuhan ekonomi Bojonegoro mulai  minus pada tahun 2020  minus 0.40%, tahun  2021 minus 5,54 %, tahun 2022 mnus 6,16 % dan baru tahun 2023 menunjukan kinerja postif diangka 2,47 %.

Ada opoini bahwa pertumbuhan minus di Bojonegoro ini dikarenakan lockdown, imbas wabah covid 19, maka  alasan ini tidak relevan, karena secara nasional maupun regional (Kabupaten Tuban, Lamongan dan Propinsi Jawa Timur) pertumbuhan ekonominya mengalami surplus meski sama-sama melakukan lock down.

Maka setidaknya kesimpulan BPS diataslah yang dapat dijadikan  referensi, bahwa pertumbuhan minus ini disebabkan minimnya campur tangan Pemerintah Kabupaten Bojonegoro menggerakan unit unit ekonomi untuk mendapatkan tambahan pendapatan yang akan mendongkrak PDB.

Hal ini dapat dijelaskan dengan fakta sebagai berikut :

Kinerja APBD yang rendah

Rendahnya kinerja APBD Bojonegoro dapat diukur dari serapan yang rendah dan SILPA yang tinggi.

Serapan APBD tahun anggaran 2019  sebesar 85 % APBD  Rp. 7,14 Triliun, TA 2020 hanya sebesar 75 % dari total APBD  Rp. 5,75 Triliun. Tahun Anggran 2021 hanya sebesar 80,96 %, APBD  Rp. 6,21 Triliun. Tahun 2022 hanya sebesar 82,2 % dari total APBD  Rp. 6,49 Triliun.

Serapan APBD tahun anggaran 2023 hanya sebesar 77,49% dari total APBD  Rp. 8,07 Triliun. Sedangkan serapan APBD TA 2024 diawal bulan Desember 2024 ini hanya sebesar 52% dari total APBD  Rp. 8,7  Triliun.

Minim Inovasi

Pendapatan Asli Daerah dapat dijadikan alat ukur kinerja pertumbuhan suatu daerah, dimana siklus ekonomi memberikan kontribusi pada APBD. Tingginya pendapatan dari sektor migas, mungkin menjadikan Pemkab Bojonegoro malas berinovasi dalam menggerakan ekonomi kerakyatan yang disatu sisi akan menambah PDB dan disisi lain akan meberikan ruang bagi penambahan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Pemkab Bojonegoro tertinggal lagi dalam soal PAD  dengan Kabupaten Lamongan dan Tuban. Hal tersebut menjadi lazim, karena daerah  yang pertumbuhannya surplus maka kinerja PAD juga akan berimbas surplusi.

Berikut Tabel Prosentase kemampuan kekuatan PAD terhadap APBD Bojonegoro, Tuban dan Lamongan dalam persen (%)

 

2019

2020

2021

2022

2023

Bojonegoro

10,7

9,68

14,7

12,0

11,66

Tuban

17,9

21,7

21,9

21,6

11,6

Lamongan

17,1

18,0

16,0

16,0

15.2

Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika beberapa tahun terakhir Kabupaten Bojonegoro memperoleh stigma kabupaten yang memilik rasio kemiskinan ekstrem, juga angka pengangguran yang cukup signifikan, karena memamng kinerja APBDnya tidak maksimal dalam mendorong pertumbuhan ekonomim local.

Fakta bahwa pembangunan infra struktur jalan yang nglenyer tidak memberikan  dampak signifikan pada pertumbuhan ekonomi, pengurangan, dan kemiskinan. Pembanguan  infrestruktur pasti akan menambah kepuasan dan kenyamanan tetapi tidak secara keseluruhan dapat menjangkau seluruh aspek kegiatan ekonomi dan kinerja PDB. Karena sifatnya yang padat modal dan minim pelibatan tenaga kerja local. Justru pembangunan infra struktur yang padat modal di curigai akan menguntungkan kelompok kapital,dan disisi lain akan meminimalisasi keterlibatan masyarakat menengah dan bawah.

Menggerakan kinerja ekonomi menjadi pekerjaan rumah paling penting bagi Bupati terpilih 2025 -2030. APBD Bojonegoro yang tinggi memang tidak bisa menjangkau seluruh hajat ekonomi kerakyatan, tetapi  APBD akan berfungsi sebagai stimulus/katalisator untuk menggerakan ekonomi rakyat Bojonegoro. APBD harus benar-benar didekatkan dengan rakyat Bojonegoro dan semaksimal mungkin melibatkan rakyat Bojonegoro.

Masyarakat Bojonegoro mempunyai harapan sederhana dengan APBD, sekolah dan kesehatan yang gratis, tersedianya lapangan pekerjaan, tercukupinya infra struktur pertanian, UMKM yang memiliki pasardan pelayanan publik yang menjangkau seluruh kebutuhan dasar masyarakat.

Pemerintah Kabupaten Bojonegoro harus selektif menggunakan APBD nya yang bersifat padat modal, karena biasanya selalu di tunggangi kepentingan golongan, kelompok pemodal, atau kelompok yang menawarkan barter kekuasaan, Yang demikian akan terlihat ‘wah’ tapi sangat minim berkolabari dengan ekonomi menengah kebawah.

Kebijakan APBD yang peduli ke sektor pertanian. UMKM, padat karya memang tidak akan terlihat ‘superior’,  tapi dampaknya yang justru akan mendorong pertumbuhan ekonomi di sektor riil dan akan dinikmati masyarakat secara luas. Selamat bekerja.?!

Penulis adalah Anggota Badan Anggaran DPRD Bojonegoro 2009 – 2014, kini Praktisi Hukum tinggal di Bojonegoro

»Follow Suarabanyuurip.com di
» Google News SUARA BANYUURIP
» dan Saluran WhatsApp Channel SuaraBanyuurip.com


Pos terkait